12/04/2021

Menumbuhkan Prasangka Baik

Aliansi Indonesia Damai- Doktrin-doktrin ekstremisme bisa mendorong seseorang bersikap inklusif dan merasa paling benar. Tak jarang doktrin tersebut berujung pada pengkafiran terhadap orang lain. Menanggapi hal ini, Abdul Mu’ti, Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, berpesan agar mahasiswa lebih berhati-hati dalam menilai orang yang memiliki pemahaman berbeda.

Menurut Mu’ti, ada dua prinsip yang harus diperhatikan untuk menangkal paham ekstremisme yang kian marak di kalangan mahasiswa. Pertama, manusia tidak boleh dan tidak bisa menghakimi sesuatu berdasarkan prasangkanya. Kedua manusia tidak berhak mengadili manusia melebihi yang nampak dari perbuatannya. “Karena hanya Allah yang lebih mengetahui antara manusia dan hatinya,” ujar Mu’ti dalam Pelatihan Pembangunan Perdamaian di Kalangan Mahasiswa yang diselenggarakan AIDA secara daring pada pertengahan Maret silam.

Baca juga Ekstremisasi Via Jagat Maya

Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini berkaca pada kisah yang terjadi pada zaman Nabi Muhammad Saw. Salah seorang sahabat Nabi membunuh musuhnya ketika perang. Padahal ketika hendak menebaskan pedang, ia mendengar musuh tersebut mengucapkan dua kalimat syahadat. Sahabat Nabi berpikiran bahwa ucapan itu hanya pura-pura saja agar ia tidak dibunuh. Sehingga ia memutuskan tetap mengayunkan pedang ke arahnya.

Mendengar cerita itu, Nabi justru marah dan menegurnya. Perbuatan itu adalah kesalahan. Karena tidak ada manusia yang bisa memastikan apakah ikrar syahadat itu kepura-puraan atau hidayah Allah turun di ujung kematiannya. Hanya Allah yang mengetahuinya. “Maka jangan menghakimi dan menghukum orang berdasarkan apa yang menjadi prasangka kita. Itu kewenangannya Allah,” kata Mu’ti.

Baca juga Pelaku Teror Tak Pikirkan Korbannya

Ia menegaskan, tak ada seorang pun muslim yang boleh mengkafirkan saudara seagamanya. Ia mengutip ayat Al-Qur’an yang menegur orang yang merasa superior dan paling baik, yaitu QS. Al-Hujurat Ayat 11. “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman,” ujarnya. [LADW]

Baca juga Rahasia Ikhlas Memaafkan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *