01/07/2021

Saat Mahasiswa Berdialog dengan Penyintas Terorisme

Aliansi Indonesia Damai- Aksi kekerasan terorisme meninggalkan dampak luar biasa bagi korbannya. Sebagian korban mengalami luka-luka dan kehilangan sebagian anggota tubuhnya. Sementara sebagian yang lain meninggal dunia. Kebanyakan dari mereka juga mengalami trauma. Mereka membutuhkan waktu untuk bangkit karena sulit melepas bayang-bayang kekerasan yang dialami.

Karena itulah, pembelajaran tentang kisah hidup penyintas terorisme menjadi salah satu topik yang didiskusikan oleh ratusan mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto secara virtual beberapa waktu lalu. Sebanyak 158 peserta hadir dalam acara bertajuk Diskusi dan Bedah buku la tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya. Dalam acara itu, turut hadir salah seorang penyintas bom Bali 2002, Ni Luh Erniati.

Baca juga Saat Mahasiswa Bicara Korban Terorisme

Saat mendapatkan kesempatan untuk berdialog dengan Erni, sapaan Ni Luh Erniati, beberapa mahasiswa bertanya langsung dan memanfaatkan fitur chat untuk bertanya tentang lika-liku kehidupan Erni. Khoerul Umam, mahasiswa jurusan Perbandingan Mazhab bertanya tentang dinamika kehidupan keluarga Erni pascakejadian itu.

Erni menjelaskan, dirinya mengalami trauma cukup lama. Ia tak kuasa ketika mendengar suara ledakan atau melihat kepulan asap sekalipun hanya berasal dari bakar-bakaran biasa. Penderitaan itu makin nyata ketika ia harus memikirkan masa depan kehidupan anak-anaknya yang masih kecil. Ketika itu kehidupan keluarganya sangat terpuruk, bahkan Erni harus melakukan terapi psikis. “Saya ikut konseling, saya minum obat penenang,” ujarnya.

Baca juga Dialog Mahasiswa ITT Purwokerto dengan Eks Napiter

Desi Purwanti, mahasiswi jurusan Bimbingan Konseling Islam, menanyakan apakah trauma itu masih ada sampai saat ini. Erni mengaku, trauma kadang-kadang masih ada, namun perlahan sudah sedikit teratasi.

Erni juga mendapatkan pertanyaan dari mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah, Chubbi Syauqi, mengenai pandangan dirinya terhadap agama Islam setelah menjadi korban. Pasalnya para pelaku aksi terorisme kerapkali melakukan perbuatannya atas dalih perjuangan agama Islam.

Baca juga Menyelesaikan Krisis Menghindari Ekstremisme

Menjawab hal itu, Erni mengaku tak percaya bila Islam mengajarkan kekerasan. Ia mengaku tak pernah menaruh benci terhadap umat Islam. “Saya meyakini tidak pernah ada agama yang mengajarkan kekerasan, itu hanya pemikiran beberapa orang yang salah,” ungkapnya.

Sementara Indazen Milati, mahasiswi jurusan Hukum Keluarga Islam, bertanya apakah Erni masih menyimpan dendam terhadap pelakunya. Erni menegaskan tak menaruh sedikit pun dendam. Malahan Erni mengaku sudah memaafkan pelakunya, karena dengan memaafkan Erni merasa beban psikis dan keterpurukan itu dapat diatasi. “Saya memaafkan mereka. Saya menitip harapan kepada mereka (pelaku) agar tidak ada lagi muncul korban-korban,” ujarnya.

Baca juga Meluruskan Nalar Konspiratif Terorisme

Erni yang juga pengurus Isana Dewata, komunitas penyintas bom Bali, menegaskan bahwa dendam tidak akan menyelesaikan masalah. Karena itu ia menganjurkan kepada anak-anak muda Indonesia agar tidak menjadi pendendam dan berusaha menjadi orang yang mencintai perdamaian. “Saya tahu persis ketika saya terpuruk dan sedih. Justru itu yang membuat saya semakin terpuruk. Saya mengajak kita semua hidup berdampingan untuk mewujudkan perdamaian,” tuturnya.

Dengan mengampanyekan perdamaian lewat kisah-kisahnya, Erni berharap tidak ada lagi aksi-aksi kekerasan sehingga tidak ada lagi korban-korban yang harus menderita seperti dirinya. Ia mendapatkan apresiasi dari para mahasiswa karena mampu menjadi pribadi yang inspiratif. “Jujur, saya sangat sedih mendengar cerita Ibu Erni. Terima kasih atas kisah-kisahnya. Selalu semangat Ibu Erni, strong woman,” ucap salah seorang mahasiswa. [AH]

Baca juga Dialog Mahasiswa ITT Purwokerto dengan Penyintas Bom Kuningan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *