Saat Mahasiswa Bicara Korban Terorisme
Aliansi Indonesia Damai- Bulan April dan Mei lalu AIDA menggelar diskusi dan bedah buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya di tujuh perguruan tinggi di Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu Universitas Nahdlatul Ulama Purwokerto, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, Universitas Peradaban Bumiayu, Institut Teknologi Telkom Purwokerto, Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, dan Institut Ilmu Al-Quran An-Nur Yogyakarta.
Dari diskusi itu, sejumlah mahasiswa alumni pelatihan pembangunan perdamaian AIDA berbagi pengalaman dan merefleksikan pandangannya ketika bertemu dan mendengar langsung kisah hidup korban terorisme. Di satu sisi, perspektif korban dalam isu terorisme dinilai masih cenderung diabaikan. Padahal korban adalah pihak yang terdampak dan paling dirugikan dari aksi tindakan terorisme.
Baca juga Dialog Mahasiswa ITT Purwokerto dengan Eks Napiter
Di sisi lain, kisah-kisah korban dinilai sangat inspiratif bagi generasi muda dan masyarakat luas. Pengarusutamaan korban diharapkan lebih banyak dimunculkan, terutama dalam narasi-narasi kampanye perdamaian.
Zahro Alifta Asadati, mahasiswi Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto merasa bersyukur dapat menyerap mutiara ilmu dari kisah hidup para korban. Perempuan yang akrab disapa Zahro itu menilai, sifat keikhlasan dan pemaafan korban menjadi kunci ketangguhan hidup mereka. “Sebagai makhluk Allah kita tidak boleh menyerah, tidak boleh menyerah. Karena Allah kasih cobaan sesuai dengan kemampuan makhluk-Nya,” ujarnya.
Baca juga Menyelesaikan Krisis Menghindari Ekstremisme
Meskipun para korban terorisme mengalami kerugian yang besar, bahkan tak sedikit yang harus kehilangan anggota tubuh dan keluarganya, mereka mampu ikhlas dan tabah menerima cobaan demi cobaan. “Hingga akhirnya korban mampu bangkit dari keterpurukan dengan upaya-upaya yang luar biasa. Mereka harus menjadi inspirasi kita,” kata perempuan aktivis komunitas jurnalistik Rekursif itu.
Nilai-nilai keikhlasan, ketangguhan, dan pemaafan dari kehidupan korban juga dirasakan oleh Gita Apriati, mahasiswi Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Purwokerto. Gita berpandangan, korban adalah cermin dari kebesaran jiwa seseorang karena mereka mau memaafkan pelaku kejahatan terhadap mereka sendiri.
Baca juga Meluruskan Nalar Konspiratif Terorisme
Nilai-nilai ketangguhan itu menurut dia penting disebarluaskan dalam narasi-narasi perdamaian. “Saya mendengar langsung kisah hidup para korban. Mereka mengingatkan agar jangan melawan kekerasan dengan kekerasan. Mereka mampu melupakan dan memaafkan. Padahal para korban harus berjuang melawan trauma,” ungkap aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia itu.
Senada dengan hal itu, Ulfatul Kholidah, mahasiswi Institut Agama Islam Negeri Purwokerto, menyatakan, perspektif korban sangatlah penting dalam upaya mewujudkan perdamaian di tengah-tengah masyarakat. “Pertemuan tersebut membawa pemahaman saya bahwa perspektif korban itu sangatlah penting, apalagi jarang sekali diangkat oleh media massa,” tuturnya.
Baca juga Dialog Mahasiswa ITT Purwokerto dengan Penyintas Bom Kuningan
Perempuan yang akrab disapa Ulfah itu menilai, selama ini kampanye perdamaian dan upaya-upaya kontrakekerasan acapkali mengabaikan perspektif korban. Padahal dalam hematnya, korban adalah potret nyata dari bahaya aksi kekerasan. Sebagian dari mereka harus menjadi disabilitas, sebagian lainnya kehilangan orang-orang terkasih. Ia lantas berharap tidak ada lagi yang menjadi pelaku sekaligus menjadi korbannya.
Ulfah juga mengaku terinspirasi dari ketangguhan hidup korban. Sebagian dari mereka mampu bangkit dari luka fisik maupun psikis, malahan sebagian yang lain telah memaafkan perbuatan pelakunya. “Mereka tidak menyerah, bangkit, dan memaafkan agar tidak ada dendam dan kekerasan. Para korban juga menyampaikan pesan perdamaian agar tidak ada lagi aksi kekerasan yang menimbulkan banyak korban,” ungkap mahasiswi pegiat Lembaga Pers Mahasiswa itu.
Baca juga Warek ITT Purwokerto Ajak Mahasiswa Lestarikan Perdamaian
Sebagai generasi muda, mahasiswa diajak turut aktif menyuarakan narasi-narasi perdamaian. Mahasiswa diharapkan memiliki kepekaan dan kesadaran akan bahaya terorisme serta kerugian yang harus dialami para korban. Apalagi mahasiswa dapat berkontribusi penting bagi terciptanya perdamaian di Indonesia. Kesadaran tersebut bisa diperoleh dengan mendengarkan kisah-kisah hidup korban terorisme.
“Pengeboman merugikan banyak orang. Selama ini kisah korban kurang didengar. Padahal ketika menjadi korban pengeboman, ada yang kakinya patah, tangannya hilang, yang nggak jarang akhirnya tidak senormal sebelum kejadian,” kata Alfiah, mahasiswi asal Universitas Peradaban Bumiayu.
Baca juga Mencegah Pemuda Terpapar Paham Ekstrem
Di hadapan rekan-rekan mahasiswanya, Ahmad Burhanudin, mahasiswa Institut Ilmu Al-Qur’an (IIQ) An-Nur Yogyakarta mengajak mereka untuk belajar tentang nilai-nilai kemanusiaan sejati dari kisah korban. Ia berharap kalangan mahasiswa mau terlibat aktif dalam upaya pembangunan perdamaian.
“Lantas bagaimana kontribusi kita setelah mengikuti kegiatan ini? Mari kita mendorong kalangan mahasiswa untuk selalu menggalakkan perdamaian, dengan salah satu caranya yaitu menghargai dan menghormati perbedaan,” ucapnya. [AH]
Baca juga Meluruskan Stereotip Terorisme