15/09/2021

Siswa SMAN 8 Surakarta Belajar dari Penyintas Bom Bali

Aliansi Indonesia Damai- “Apakah Ibu Ni Luh pernah memiliki perasaan benci dan dendam setelah kejadian Bom Bali? Dan bagaimana proses yang dijalani Ibu sehingga bisa ikhlas dengan musibah tersebut?” Pertanyaan tersebut terlontar dari siswi SMAN 8 Surakarta kepada Ni Luh Erniati, korban tak langsung peristiwa Bom Bali 2002, dalam Dialog  Interaktif Virtual “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang digelar AIDA beberapa waktu lalu di SMAN 8 Surakarta Jawa Tengah.

Akibat bom yang meledak di kawasan Kuta, Bali, 19 tahun silam, Gede Badrawan, suami Erniati, meninggal dunia. Mau tak mau Erniati harus menjadi orang tua tunggal bagi kedua buah hatinya yang kala itu masih sangat belia. Rasa sakit atas kehilangan suami sekaligus ayah bagi kedua putranya tidak bisa ditutupi begitu saja.

Baca juga Hikmah dari Kehidupan Penyintas dan Pelaku Terorisme

Amarah dan rasa tidak terima dengan apa yang telah terjadi membuatnya semakin terpuruk. Ia mengaku sempat merasa benci dan dendam terhadap para pelaku. Namun kemudian ia menyadari bahwa perasaan itulah yang membuatnya semakin sakit.

“Suatu hari  pada waktu itu saya mencuci baju, tanpa sadar mata saya menangis. Kemudian saya sadar, loh kok saya nangis? Tangan saya mencuci, namun pikiran saya entah marah-marah dengan siapa. Kenapa saya seperti ini?” ungkap Ni Luh yang kemudian menyadari bahwa dirinya tengah  ‘sakit’.

Baca juga Pesan Perdamaian Pelajar Surakarta (Bag. 1)

Keluarga dan teman-temannya memberikan support kepada Ni Luh agar bisa mengendalikan emosi dan tidak terlalu terpuruk. Mengingat anak-anaknya sangat membutuhkan Ni Luh dalam tumbuh kembangnya. Selain support dari keluarga, ia juga berusaha untuk sembuh dengan jasa psikiater.

“Ni Luh, kamu tidak boleh mati sebelum benar-benar mati. Kata-kata itulah yang disampaikan seorang teman kepada saya. Dan selalu saya pegang hingga saat ini,” ucap Ni Luh mengingat kata-kata ampuh dari seorang teman yang menguatkannya.

Baca juga Dialog Siswa SMAN 4 Surakarta dengan Penyintas Bom Kuningan

Ni Luh memutuskan untuk tidak lagi menyimpan amarah dan dendam. Sejak saat itu ia merasa sehat dan dapat melakukan apa pun dengan lebih baik.

“Apa motivasi Bu Ni Luh bisa tetap semangat menjalani hidup sampai detik ini?” ucap peserta yang lain.

Menanggapi pertanyaan tersebut dengan tegas Ni Luh mengungkapkan bahwa motivasi terbesar dalam hidupnya adalah anak-anak. “Saya punya tekad bagaimana saya harus mampu membesarkan dan memberikan pendidikan terbaik kepada anak-anak, lebih dari yang orang tuanya dapatkan. Karena itu adalah cita-cita saya dengan almarhum,” ucapnya.

Baca juga Ketangguhan Penyintas di Mata Siswa SMAN 2 Surakarta

Kepada kedua anaknya, Ni Luh terus menekankan agar tidak menyimpan dendam. ”Kita harus bisa menerima kenyataan, apa yang terjadi sudah jalan hidup yang harus dilalui. Sekalipun kita balas mereka, tidak akan mengubah  apa yang telah terjadi, dan Bapak tidak akan pernah bisa kembali pulang.”

Seorang siswi mengaku mendapatkan pembelajaran yang sangat berharga dari kisah Ni Luh. “Jika kita menerima cobaan hidup, maka jalani dan ikhlaskan saja. Jangan menebar kebencian yang bisa menghancurkan kedamaian,” ucapnya.

Baca juga Menyemai Bibit Perdamaian di SMAN 4 Surakarta

Sementara seorang peserta lainnya mengungkapkan terima kasih telah diberikan kesempatan untuk belajar karakter tangguh dalam acara tersebut melalui selarik pantun,

“Pergi ke Jakarta lewat jalan Sudirman
Habis jalan-jalan mampir ke rumah Rega
Terimakasih bapak/ ibu yang budiman
Sudah memberikan ilmu yang berharga.” [SWD]

Baca juga Dialog Siswa SMAN 4 Surakarta dengan Mantan Ekstremis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *