Pemerintahan Ideal Menurut Islam
Oleh Faruq Arjuna Hendroy
Alumni IMM Komisariat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Perdebatan soal bentuk pemerintahan ideal memang tidak pernah ada habisnya. Semua orang sepakat bahwa eksistensi kepemimpinan merupakan keniscayaan dalam rangka menyejahterakan masyarakat yang hidup di wilayahnya. Namun mereka berbeda pendapat soal bagaimana sistemnya harus dijalankan.
Dalam sejarah peradaban umat manusia, bentuk pemerintahan terus mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Kerajaan adalah bentuk pemerintahan yang paling klasik di dunia. Bentuk ini sudah ada sejak peradaban Mesopotamia dan Mesir Kuno. Selain menjadi yang paling klasik, kerajaan juga termasuk bentuk pemerintahan yang paling bertahan lama. Wujudnya masih dapat kita temukan di era modern ini. Kerajaan mencakup satu wilayah kekuasaan tertentu yang dipimpin oleh seorang raja. Raja berkuasa seumur hidup dan kekuasaannya diturunkan secara monarki alias turun-temurun.
Baca juga Refleksi Hari Ibu: Perempuan, Kasih Sayang dan Perdamaian
Selain kerajaan, ada lagi yang namanya kekaisaran. Bentuk pemerintahan ini marak muncul di periode setelah masehi. Bedanya dengan kerajaan, kekaisaran mencakup wilayah yang lebih luas dan membawahi banyak kerajaan-kerajaan kecil. Pemimpinnya disebut dengan kaisar yang dipilih secara monarki. Terkadang kekaisaran juga dikuasai oleh kelompok oligarki (kekuasaan di tangan segelintir elit).
Lalu ada lagi bentuk pemerintahan negara-kota atau polis yang diperkenalkan oleh peradaban Yunani Kuno. Konsep negara-kota yaitu tiap-tiap kota memiliki kedaulatan layaknya sebuah negara, di mana para pemimpinnya bebas menentukan sistem pemerintahannya sendiri. Dengan menjamurnya bentuk negara-kota, mengakibatkan banyaknya negara kecil yang bermunculan kala itu.
Baca juga Pahlawan Perdamaian
Dan yang terakhir ada bentuk pemerintahan negara-bangsa. Negara-bangsa adalah bentuk pemerintahan modern yang diterapkan hampir di seluruh dunia saat ini. Negara-bangsa lahir berkat tercetusnya Perjanjian Westphalia tahun 1648 silam. Prinsip dasar negara-bangsa yaitu suatu negara yang berdaulat dihuni oleh masyarakat dari satu bangsa yang sama. Negara-bangsa tercipta berdasarkan kesamaan suku, budaya, bahasa, sejarah, dan tujuan.
Bentuk-bentuk pemerintahan ini ikut mewarnai peradaban Islam seiring kemunculannya pada abad ke-7 masehi. Negara pertama yang dibentuk oleh komunitas Islam adalah Madinah yang dikepalai langsung oleh Nabi Muhammad SAW. Bentuk pemerintahan Madinah mirip sekali dengan Polis, karena Madinah itu sendiri berarti kota, namun memiliki kedaulatan layaknya negara. Madinah memiliki konstitusinya sendiri dan membangun relasi dengan kekuasaan lain yang bisa dilihat dari pengiriman delegasi atau juru runding.
Baca juga Proses Panjang Meninggalkan Ekstremisme
Sepeninggal Nabi, bentuk pemerintahan Islam mulai berkembang bersamaan dengan menyebarnya dakwah Islam ke wilayah lain. Peradaban Islam jadi lebih mirip kekaisaran, namun dibalut dengan sentuhan islami. Itu bisa dilihat dari pemilihan diksinya. Penguasa Islam lebih menggunakan istilah kekhilafahan untuk menamai pemerintahan mereka. Adapun pemimpinnya disebut khalifah.
Metode pemilihan khalifah pun tidak pernah baku. Abu Bakar As-Shiddiq RA dan Usman bin Affan RA dipilih secara musyawarah. Umar bin Khattab RA dipilih dengan wasiat penunjukkan langsung. Sedangkan Ali bin Abi Thalib KW dipilih melalui pembaiatan sekelompok muslim. Setelah berakhirnya era empat khalifah di atas, pemimpin Islam dipilih berdasarkan asas monarki layaknya kekaisaran-kekaisaran Barat. Seperti yang terlihat pada kekuasaan Dinasti Umayyah, Abbasiyah, hingga Turki Utsmani.
Baca juga Pentingnya Ibroh Terorisme
Adapun di era modern ini, ketika dunia sudah menerapkan bentuk pemerintahan negara-bangsa, kawasan-kawasan yang berpenduduk muslim pun ikut menerapkannya. Ini bukan berarti dunia Islam latah. Tetapi yang namanya adaptasi memang sangat diperlukan untuk memastikan hak-hak dasar masyarakat serta kesejahteraan mereka dapat terpenuhi.
Dari paparan ringkas yang telah penulis sampaikan, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa Islam sejatinya tidak pernah menyodorkan satu bentuk pemerintahan yang baku. Islam diturunkan sebagai agama yang bertujuan mengatur hubungan manusia dengan Sang Pencipta (hablun minallah) dan hubungan antar sesama (hablum minannas), bukan untuk mengatur bagaimana negara harus dijalankan. Maka yang ditekankan Islam adalah nilai-nilai universal seperti keadilan di pelbagai bidang kehidupan, keamanan, perdamaian, dan sebagainya.
Pemimpin muslim sejatinya bebas menggunakan bentuk pemerintahan yang mana saja, seperti yang sudah dicontohkan oleh generasi terdahulu. Asalkan keadilan dijunjung dan ditegakkan, maka bentuk pemerintahan apa pun absah dijalankan.
Bagaimana keadilan bisa ditegakkan, kesejahteraan masyarakat bisa terwujud, kezaliman bisa ditumpas, dan tiap-tiap individu muslim dapat menjalankan perintah agamanya secara damai tanpa ada gangguan dari pihak manapun. Itulah yang menjadi misi Islam.
Soal bagaimana mencapai tujuan itu, pemimpin muslim sejatinya bebas menggunakan bentuk pemerintahan yang mana saja, seperti yang sudah dicontohkan oleh generasi terdahulu. Asalkan keadilan dijunjung dan ditegakkan, maka bentuk pemerintahan apa pun absah dijalankan. Dalam konteks inilah, penulis sangat setuju dengan pernyataan cendekiawan muslim kenamaan, Ibnu Taymiyah.
إن الناس لم يتنازعوا في أن عاقبة الظلم وخيمة، وعاقبة العدل كريمة ولهذا يروى، إن الله ينصر الدولة العادلة وإن كانت كافرة ولا ينصر الدولة الظالمة وإن كانت مؤمنة
Tidak ada perdebatan di kalangan manusia bahwa dampak kezaliman itu mengerikan. Sebaliknya, keadilan membuahkan kemuliaan. Karena itulah ada riwayat yang menyatakan, bahwa sesungguhnya Allah akan menolong pemerintahan yang adil meskipun kafir dan tidak akan menolong pemerintahan yang zalim meskipun rezimnya mengaku beriman (Ibnu Taymiyah, Majmu’ Fatawa).
Maka dari itu, cukup problematis jika ada sekelompok umat Islam yang memaksakan satu bentuk pemerintahan tertentu dan menghukum kafir orang-orang yang menolak ide bentuk pemerintahan versi mereka. Apalagi jika dibarengi dengan aksi-aksi kekerasan sebagai justifikasi bahwa bentuk pemerintahan versi mereka adalah yang paling benar.
Baca juga Belajar Zuhud dari Penyintas Bom
Selain ahistoris, pemaksaan penerapan bentuk pemerintahan tertentu dengan cara-cara kekerasan hanya akan mengakibatkan jatuhnya korban dan menimbulkan kekacauan massal. Ujung-ujungnya, itu semua bertentangan dengan misi mulia agama Islam itu sendiri.
Tiap-tiap bentuk pemerintahan pasti ada plus minusnya. Untuk mencari yang terbaik, alangkah lebih baiknya jika mengedepankan cara dialog. Karena sekali lagi, tidak ada satu pun bentuk pemerintahan baku yang disodorkan oleh Islam. Mengedepankan cara dialog dalam memilih bentuk pemerintahan ideal adalah tanda bahwa kita manusia yang beradab, sekaligus cara merawat kemanusiaan.
Baca juga Menggelorakan Ketangguhan