Belajar Menghargai Hidup dari Penyintas Bom
Banyak orang mungkin pernah mengalami ujian hidup yang berat. Kadar berat dan ringan tentu saja relatif, karena sangat bergantung dengan penyikapan masing-masing individu. Bagi beberapa orang, permasalahan yang tampaknya amat sangat berat, karena direspons secara arif, maka dapat dilalui secara mudah.
Sebaliknya, persoalan apa pun yang ditanggapi secara emosional dan negatif, maka rawan memicu problem-problem kejiwaan, seperti stres dan depresi. Kondisi psikis yang jika tidak ditangani secara baik maka berdampak sangat buruk. Puncaknya bahkan orang nekat menghilangkan nyawa sendiri.
Baca juga Keterbatasan Akal Memahami Musibah
Jika menilik aturan agama, ada banyak dalil yang tegas mengharamkan bunuh diri. Allah Swt berfirman:
وَلاَ تَقْتُلُواْ أَنفُسَكُمْ إِنَّ اللّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا * وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ عُدْوَانًا وَظُلْمًا فَسَوْفَ نُصْلِيهِ نَارًا وَكَانَ ذَلِكَ عَلَى اللّهِ يَسِيرًا
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Mahapenyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah” (QS. An Nisa: 29-30).
Baca juga Apologi Takdir: Memahami Penyintas Bom dalam Rukun Iman (Bag.1)
Terkait ayat ini, Syaikh Ibnu Katsir mengutip kisah sahabat Umar bin Ash. Ia bermimpi hingga mengeluarkan sperma ketika tidur. Saat terbangun, ia memutuskan hanya melakukan tayamum sebagai pengganti mandi besar. Pasalnya saat itu sedang musim dingin sehingga khawatir akan sakit jika mandi. Setelahnya, Umar menunaikan shalat subuh berjemaah. Ia lantas melaporkan persoalan ini kepada Nabi Muhammad Saw sembari mengutip ayat tersebut. Nabi lantas tersenyum mendengarnya (Tafsir Ibnu Katsir, Vol. 2, hal. 236).
Nabi Saw juga mengecam keras bunuh diri. Salah satu sabda beliau:
من قتل نفسه بشيء عذب به يوم القيامة
“Barangsiapa yang membunuh dirinya dengan sesuatu, ia akan diazab dengan itu di hari kiamat” (HR. Bukhari dan Muslim).
Baca juga Apologi Takdir: Menjadi Korban Bukan Keniscayaan (Bag.2-Terakhir)
Namun rasanya dalil-dalil teologis seperti di atas tidak cukup untuk membantu orang yang sedang mengalami depresi akut. Terlebih jika disampaikan dengan nada ancaman. Dalam konteks ini, penting untuk menghadirkan kisah-kisah ketangguhan yang faktual. Misalnya pengalaman hidup sejumlah penyintas bom. Ni Luh Erniati, korban tak langsung dari peristiwa Bom Bali 2021, adalah salah satu contohnya.
Erni, demikian sapaan akrabnya, harus menyandang status orang tua tunggal bagi kedua anaknya yang masih sangat belia. Pasalnya, sang suami, Gede Badrawan, meninggal dunia dalam serangan bom di Pulau Dewata, 12 Oktober 2002. Kehilangan suami di usia Erni yang relatif muda memicu dampak-dampak lain yang kian merunyamkan persoalan hidupnya. Ia bahkan beberapa kali ingin bunuh diri lantaran tak kuat menahan beban yang begitu berat. Namun berkat iman, dukungan teman-teman, dan inspirasi dari anak-anaknya, ia bertekad menjalani serangkaian rintangan dengan sekuat daya upayanya.
Baca juga Urgensi Ukhuwwah dan Bahaya Perpecahan
Kita bisa belajar pula dari sosok Andi Dina Noviana atau Andin, penyintas Bom Thamrin 2016. Ia mengalami cedera fisik cukup parah. Namun luka itu tak seberapa jika dibandingkan trauma psikis yang menderanya. Ia sempat mengalami halusinasi, depresi, hingga paranoid. Bagi Andin masa-masa itu adalah titik nadir hidupnya. Ia bahkan sempat tiga kali mencoba bunuh diri.
Berkat dukungan dari keluarga dan kesadaran diri untuk berdamai dengan kenyataan, Andin pada akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa obat dari segala obat adalah keikhlasan dan pemaafan. Respon emosional yang positif berhasil membuat Andin lolos dari segala problem fisik dan psikisnya.
Baca juga Mengimani Takdir
Sementara sejumlah penyintas bom lain yang menderita cedera berat, bahkan harus mengalami disabilitas, tetap bersyukur karena selamat dari maut. Sebab pada saat bersamaan beberapa rekan mereka harus menjemput ajal akibat tragedi kemanusiaan itu. Sebagai wujud syukur, mereka berupaya mengisi hidupnya dengan amal-amal baik. Tentu saja mereka juga sempat terpuruk, tetapi dukungan eksternal dan kesadaran internal membuat mereka bangkit dari keterpurukan.
Dari kisah Erni, Andin, dan para penyintas bom lain, dukungan dan dorongan positif dari lingkungan terdekat adalah keniscayaan bagi orang-orang yang mengalami depresi akut. Empati dan simpati setulus dan setinggi-tingginya harus diberikan kepada mereka yang didera tekanan hidup. Kesediaan orang-orang terdekat untuk menjadi “tong sampah” emosi negatif menjadi salah satu upaya membantu “membersihkan kotoran psikis” para pengidap depresi.
Baca juga Urgensi Ukhuwah dan Bahaya Perpecahan: Pentingnya Ilmu (Bag. 1)
Yakinkan pula bahwa Tuhan adalah Mahakasih yang tak akan membebani hamba-Nya di luar kemampuan kemanusiaannya. Selalu ada keringanan-keringan yang Tuhan berikan dalam situasi sulit sebagaimana kisah Umar bin Ash di atas.
Jangankan bunuh diri, menyakiti diri sendiri sangat terlarang dalam Islam. Maka secara teologis, membantu orang terlepas dari depresi tentu bernilai ibadah. Pasalnya ikut berikhtiar mencegah orang dari potensi melakukan kemunkaran (nahi munkar).
Baca juga Urgensi Ukhuwah dan Bahaya Perpecahan: Pentingnya Adab (Bag. 2)