Perdamaian Hanya Akan Tercipta Lewat Keadilan
Bayangkan sebuah pertandingan sepak bola sedang berlangsung. Kesebelasan A bertanding melawan kesebelasan B yang dipimpin oleh seorang wasit yang berpihak. Salah satu pemain kesebelasan A melakukan tackle dua kaki kepada pemain kesebelasan B di dalam kotak penalti. Tapi, pemain tersebut tidak diberi kartu kuning, apalagi hukuman penalti. Wasit memilih melanjutkan permainan seolah tidak terjadi apa-apa. Yang terjadi setelahnya? Kesebelasan B beserta officials dan pendukungnya yang tidak puas, hingga akhirnya masuk ke lapangan dan keributan terjadi.
Ilustrasi kasus di atas sebenarnya sering kita jumpai. Tidak hanya di ranah olahraga, keributan yang disebabkan oleh tidak adanya keadilan kerap kita jumpai dalam hampir segala lini kehidupan. Setiap manusia memiliki hak dan kebutuhan yang harus mereka penuhi. Namun, ketika hak dan kebutuhan itu tidak diberikan selayaknya, maka akan memicu resistensi. Apalagi jika mengetahui kalau orang lain lebih diuntungkan dengan mendapatkan porsi yang lebih besar.
Baca juga Menjaga Keselarasan Nusantara
Meskipun demikian, ketidakadilan seringkali ditafsirkan berbeda oleh sejumlah kelompok. Memang ada ketidakadilan yang sifatnya zahir. Artinya, mayoritas orang menyetujui kalau sesuatu itu memang ketidakadilan. Namun, terkadang ada kalanya suatu hal dimaknai ketidakadilan oleh sekelompok orang, sedangkan kelompok lain memandang sebaliknya.
Misalkan, ketika berbicara tentang pondasi negara, banyak muslim yang berhaluan konservatif menganggap bahwa Indonesia ini tidak adil bagi umat Islam. Alasan mereka, dengan statusnya sebagai negara muslim terbesar di dunia, Indonesia harus dijalankan berlandaskan syariat agama. Hasil dari pemikiran ini adalah langgengnya keberadaan kelompok konservatif hingga ekstrem kanan yang terus menyuarakan pemikiran mereka hingga saat ini.
Baca juga Etika Perdamaian
Padahal, ketidakadilan versi mereka juga memicu ketidakadilan bagi kelompok lain, terutama bagi orang-orang yang berstatus minoritas dan mereka yang peduli pada keberagaman. Memaksakan penerapan syariat Islam terhadap Indonesia yang beragam dikhawatirkan akan memicu praktik-praktik diskriminasi dan persekusi. Dalam kasus ini, yang perlu diprioritaskan adalah keadilan versi mana yang paling membawa kemaslahatan bagi masyarakat dan negara, sehingga keadilan itu bisa benar-benar memberikan perdamaian bagi semua.
Salah kaprah dalam menyikapi ketidakadilan dipraktikkan oleh pelaku terorisme. Perlu diakui, para pelaku terorisme itu berangkat dari niat yang baik. Mereka resah dengan aksi-aksi penindasan yang dialami oleh umat Islam di banyak wilayah, sejak hancurnya kekhilafahan Islam global yang mereka anggap mampu melindungi umat Islam. Melihat penindasan dan ketidakadilan itu, ghirah mereka pun memuncak. Berbalut narasi jihad, mereka melancarkan aksi balas dendam.
Baca juga Bela Perdamaian Indonesia
Selanjutnya kita melihat terjadinya aksi-aksi terorisme di mana-mana, termasuk di Indonesia. Sejumlah aksi pengeboman skala besar terjadi di Indonesia dalam dua dekade terakhir ini. Motif para pelaku dalam serangan-serangan tersebut adalah membalas ketidakadilan yang dirasakan umat Islam di belahan dunia lain.
Hal Ini, pembalasan ketidakadilan di luar negeri dengan melakukan aksi kekerasan di negara sendiri, kemudian memunculkan masalah yang lebih serius. Pasalnya, dalam melancarkan aksinya, kelompok tersebut menggunakan jenis senjata yang dapat melukai target secara acak, dan tentu saja memiliki efek collateral damage yang besar. Serangan mereka melukai kaum sipil, anak-anak, perempuan, dan orang tua, yang rata-rata tidak tahu-menahu isu yang sedang diperjuangkan. Yang lebih parahnya lagi, orang-orang yang menjadi korban justru dari kalangan umat Islam sendiri, saudara seakidah dari para pelaku.
Baca juga “Himne” Pejuang Perdamaian
Serangan para pelaku jelas memicu ketidakadilan baru dan tidak menyelesaikan masalah ketidakadilan yang awalnya mereka sasar. Para korban mengalami penderitaan yang luar biasa akibat kejadian tersebut. Mereka tidak lagi bisa beraktivitas normal, karena luka akibat bom membuat tubuh mereka cacat, atau lebih sadis menghilangkan nyawa. Ketidakadilan bagi para korban semakin terasa perih, tatkala mengetahui mereka sebenarnya tidak tahu apa-apa soal motif para pelaku. Mereka hanya sekadar lewat atau nongkrong di tempat kejadian, lalu tiba-tiba terkena ledakan.
Oleh karena itu, membalas ketidakadilan dengan ketidakadilan tidak akan berujung pada perdamaian. Perdamaian hanya akan terwujud lewat keadilan. Ketidakadilan yang terjadi di belahan dunia sana memang memprihatinkan. Namun, bukan berarti kita membalasnya dengan membuat ketidakadilan baru. Cara terbaik untuk menyikapinya adalah dengan bersikap adil; mengoreksi ketidakadilan tersebut tanpa merugikan orang lain.
Baca juga Pertobatan Mantan Ekstremis untuk Indonesia Damai
Di level negara, kasus Afrika Selatan yang menggugat Israel ke Mahkamah Internasional menjadi salah satu bentuk langkah konkret bagaimana ketidakadilan dilawan dengan keadilan. Begitu juga dengan aksi boikot dan long march yang baru-baru ini semakin masif ditujukan untuk memprotes ketidakadilan yang dilakukan Israel. Banyak upaya-upaya lain yang bisa kita lakukan untuk merespon ketidakadilan yang muncul di belahan dunia manapun, terlebih ketika globalisasi memungkinkan suara kita semakin terkoneksi dengan komunitas global, sehingga ketidakadilan itu bisa kita tentang bersama-sama.
Baca juga Belajar Bersyukur dari Kisah Korban Bom