30/07/2021

Menggelorakan Ketangguhan

Oleh Fahmi Suhudi
Alumni Darus-Sunnah International Institute for Hadith Sciences Ciputat

Setiap orang tentunya pernah mengalami musibah atau ujian hidup. Bisa berupa sakit, bencana alam, atau kehilangan sosok terdekat. Musibah memberikan pembelajaran berharga bagi siapa pun yang terkena dampaknya. Selain itu juga memunculkan sifat sabar dan rasa syukur karena masih bisa merasakan kenikmatan Allah yang lain.

Ketika mengalami musibah apa pun, manusia dianjurkan untuk melantunkan kalimat istirja’, yakni inna lillahi wa inna ilaihi rajiun yang bermakna sesungguhnya semua makhluk adalah milik Allah dan akan kembali pada-Nya. Hari-hari ini, kalimat istirja’ sangat sering muncul, baik dari pengeras-pengeras suara di kampung maupun di grup pertemanan media sosial.

Baca juga “Ketangguhan Mental Para Penyintas dan Mantan Pelaku Terorisme”

Dalam situasi pandemi yang masih mengkhawatirkan, berseliweran berita tentang kematian. Anak harus ditinggalkan orang tua, suami ditinggal istri atau bahkan sekeluarga meninggal dunia. Di tengah keprihatinan tersebut, penting rasanya untuk menggelorakan semangat ketangguhan menghadapi segala musibah.

Ada banyak ayat Al-Qur’an yang menyerukan pentingnya bersabar ketika terkena musibah dan ujian hidup. Salah satunya adalah ayat berikut:

وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ ۝ الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ۝ أُوْلَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ

Artinya: Dan berikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu mereka yang ketika mendapatkan musibah mereka mengatakan, ‘sesungguhnya kami milik Allah dan kami sungguh akan kembali kepada-Nya.’ Merekalah yang mendapatkan pujian dari Tuhannya dan kasih sayang, dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk (QS. Al-Baqarah: 155-157).

Baca juga Menghargai Kearifan Budaya

Ayat tersebut didahului dengan ayat yang menjelaskan bahwa Allah akan menguji umat manusia dengan rasa takut akibat kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan tumbuhan-tumbuhan/ buah-buahan. Padahal semua itu merupakan hal-hal yang biasa dinikmati.

Menurut Imam al-Thabari dalam kitab tafsir Tafsir Jami’ul Bayan, sikap bersyukur atas nikmat kehidupan yang diberikan Tuhan merupakan salah satu tanda kesempurnaan beragama (ikmal al-syariah huwa itmam al-syukr). Bersyukur juga bisa dipraktikkan ketika tertimpa musibah. Tentu tidak hanya sekadar ucapan, melainkan dengan sikap dan perbuatan. Dengan kata lain, musibah adalah keadaan dan ujian setelah seseorang diberikan nikmat yang seharusnya senantiasa disyukuri (Tafsir At-Thabary, Vol. 3, Hal 221). 

Baca juga Memaknai Hijrah dalam Bingkai Perdamaian

Pandangan hampir senada diungkapkan Imam Fakhrudin al-Razi dalam Tafsir al-Kabir li Al-Qur’anil Karim atau yang populer dengan Mafatih al-Ghaib. Kesabaran saat mendapatkan musibah merupakan ujung tombak dari ajaran Islam. Kesabaran dan usaha sekuat tenaga untuk melewati musibah dan ujian yang dialami merupakan bagian dari iman. Karenanya, ketika seseorang terkena musibah, maka dianjurkan melihat apa yang masih dimiliki. Faktanya ketika masih merasakan musibah, berarti kita masih diberi nikmat kehidupan dunia.

Hal itu menunjukan kesempurnaan iman seseorang. Al-Razi mengutip hadis Nabi Muhammad Saw, “Al-Imanu nishfani, nishfu shabrin wa nishfu syukrin: keimanan itu terbagi dua, sebagian adalah kesabaran dan sebagian lainnya adalah syukur (Tafsir Mafatih al-Ghaib, Vol. 4, Hal. 128).

Baca juga Mengembangkan Dakwah, Menyuburkan Damai (Bag. 1)

Rasa syukur dengan cara lebih berfokus pada apa yang telah diberikan Tuhan merupakan salah satu wujud ketangguhan. Ini memang mudah dikatakan, sulit untuk dipraktikkan. Terlebih di tengah musibah pandemi seperti sekarang. Namun bagaimana pun setiap orang harus terus melatih diri dengan sikap ini.

Salah satu amal baik yang dianjurkan dalam Islam adalah menjenguk orang yang sakit dan mendoakan kesembuhannya. Anjuran ini sejatinya mengajarkan bahwa seseorang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Artinya mesti bersosialisasi dalam kehidupan sehari-hari. Di sisi lain juga mengajarkan tentang pentingnya solidaritas, saling membantu dan menguatkan satu sama lain.

Baca juga Mengembangkan Dakwah, Menyuburkan Damai (Bag. 2-Terakhir)

Jika seseorang menderita sakit, maka kewajibannya juga adalah berobat agar diberikan kesembuhan. Kecuali jika ia meyakini sepenuh hati bahwa sakit adalah bagian dari karunia Tuhan yang harus dinikmati, sebagaimana dalam hikayat ahli tasawuf (sufi). Karena sejatinya tidak ada penyakit kecuali ada obatnya. Sebagaimana hadis Nabi, “Likulli da’in dawa’un: setiap penyakit pasti memiliki obatnya.”

Dalam konteks ini kita bisa memetik pelajaran dari ketangguhan para korban terorisme. Ada di antara mereka yang harus menderita cedera di sekujur tubuhnya, bahkan sebagian mengalami disabilitas. Mereka tetap berikhtiar untuk berobat demi menyembuhkan luka fisik yang dialaminya, pun trauma psikis.

Baca juga Cermat dengan Stigma Sosial

Selain itu mereka tetap bersyukur. Meski pernah mengalami peristiwa tragis, mereka masih diberikan kesempatan menghirup udara dunia. Sebagaimana kisah Andi Dina Noviana atau Andin, korban Bom Thamrin 2016. Ia memang pernah merasa sangat terpuruk, bahkan sempat tiga kali mencoba bunuh diri. Namun kini Andin justru mensyukuri musibah itu, karena telah membuatnya lebih menghargai setiap detak nafas yang dianugerahkan Allah. Pun ia memiliki pengalaman hidup yang bisa dibagikan kepada orang lain (baca: Keikhlasan dan Pengampunan Menyembuhkan Luka: Kisah Andi Dina Noviana, Penyintas Bom Thamrin)

Pandemi ini mengharuskan semua orang berjuang melawan virus Covid-19. Karenanya setiap orang penting untuk memiliki sifat ketangguhan, yakni sabar dan syukur.

Baca juga Jihad untuk Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *