12/05/2022

Fondasi dan Keutamaan Memaafkan (Bag.Terakhir)

Aliansi Indonesia Damai- Memaafkan adalah salah satu sunnah Nabi Muhammad Saw. Sebagai umatnya, tentu kita ingin meneladani beliau. Dalam sebuah kisah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari sahabat Ubay bin Ka’ab R.A, beliau menceritakan, “Tatkala peperangan Uhud, ada enam puluh orang dari kalangan sahabat Anshar yang mati syahid, sedangkan dari kalangan Muhajirin ada enam orang. Maka para sahabat Rasulullah SAW berkata, “Kalau seandainya nanti kita mendapati hari seperti hari ini atas kaum musyrikin (bertemu kembali), benar-benar kami akan membunuh mereka lebih banyak lagi.”

Tetapi faktanya, manakala datang hari penaklukan Makkah, berkata seorang yang tidak dikenali namanya, “Habis sudah riwayat (kafir) Quraisy pada hari ini.” Lalu terdengar suara lantang dari muazin Rasulullah SAW yang menyeru, “Semuanya aman. Jangan ada di antara kalian yang membunuh seorang pun kecuali fulan dan fulan.” Lalu disebut beberapa nama pesohor kafir Quraisy.

Baca juga Fondasi dan Keutamaan Memaafkan (Bag.1)

Kemudian turunlah firman Allah SWT, “Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar” (Q.S An-Nahl: 126). Maka Rasulullah SAW bersabda: “Bahkan kami memilih untuk bersabar dan tidak membalas kejelekan mereka“ (HR. Ahmad, No. 21229).

Kisah lain yang merupakan sifat pemaaf Nabi Muhammad SAW tercantum di dalam kitab Taurat. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah bin Amr bin al-Ash RA, bahwa Atha’ bin Yasar pernah meminta pada dirinya untuk mengabarkan tentang sifat Rasulullah SAW yang tercantum dalam Taurat.

Baca juga Support System Melewati Derita (Bag. 1)

Beliau menjawab, “Tentu, sesungguhnya dirinya disifati dalam Taurat dengan beberapa sifat yang ada dalam Al-Qur’an. Wahai Nabi sesungguhnya kami mengutusmu sebagai saksi, pemberi kabar gembira, dan peringatan serta penjaga bagi para kaum yang ummiy (tidak bisa baca tulis). Engkau adalah hamba dan utusan-Ku. Aku beri nama dirimu al-Mutawakkil, tidak kasar lagi berperangai buruk, tidak berteriak-teriak di pasar, tidak membalas perbuatan buruk dengan yang semisalnya, akan tetapi memaafkan dan memohonkan ampun“ (HR Bukhari, No. 2125).

Bukan hanya dari Nabi Muhammad SAW, memaafkan juga diajarkan oleh nabi-nabi terdahulu. Di antaranya seperti yang dijelaskan oleh Allah SWT tentang Nabi Yusuf AS ketika dirinya berkata pada saudaranya yang dahulu pernah menyakitinya.

Baca juga Support System Melewati Derita (Bag. 2)

“Dia (Yusuf) berkata: Pada hari ini tak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampuni (kamu), dan Dia adalah Mahapenyayang di antara para penyayang” (Q.S Yusuf: 92). Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas’ud RA yang berkata, “Seakan-akan aku pernah melihat Rasulullah SAW menceritakan seorang nabi dari kalangan para nabi Bani Israil yang dipukul oleh kaumnya sampai berdarah, lantas dirinya mengusap darah tersebut dari wajahnya sambil berkata, ‘Ya Allah ampunilah kaumku sesungguhnya mereka tidak mengetahui” (HR Bukhari, No. 3477 dan HR. Muslim, No. 1792).

I’broh atau pelajaran yang bisa diambil dari kisah para nabi tersebut adalah bahwa pemaafan sangat efektif dalam meredakan konflik sosial, bahkan lebih dari itu dapat mencegah peperangan antarsesama. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis di atas, dalam peristiwa fathu Makkah misalnya. Berbondong-bondong masyarakat Quraisy mengikrarkan iman tanpa ada peperangan, tanpa ada satu tetes darah pun tertumpah.

Oleh karena itu akan selalu ada pilihan. Dan para pendahulu telah memberikan pilihan terbaik, yaitu menanamkan fondasi memaafkan karena keutamaannya begitu besar. Wallahu ‘Alam.

Baca juga Support System Melewati Derita (Bag. Terakhir)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *