Hati Nurani dan Jiwa Pemaaf
Oleh: Eeng Nurhaeni
Pengasuh Pondok Pesantren Al-Bayan, Rangkasbitung, Banten Selatan
Mahatma Gandhi memberikan teladan dengan konsep Ahimsa. Ia membangun corak peradaban yang berbeda dengan tokoh-tokoh spiritualis Hindu sebelumnya. Sepanjang hidupnya, Gandhi berjuang keras menyatukan penganut Hindu dan Islam, dalam suatu masyarakat yang damai dan harmonis di India. Baginya, baik penganut Hindu maupun Islam, pada dasarnya adalah makhluk manusia yang berasal dari nenek moyang yang sama.
Prinsip-prinsip Ahimsa yang dicanangkan Gandhi berbanding lurus dengan konsep akhlaqul adzimah yang sudah melintasi nilai-nilai akhlaqul-karimah yang pernah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam surat Al-Qalam ayat 4, terungkap kata-kata wa’innaka la’ala khuluqin adzim, yang menunjukkan bahwa kemuliaan Nabi Muhammad justru karena kualitas akhlak dan moralitasnya yang tinggi. Sampai-sampai mampu menjawab perilaku jahat yang dilancarkan orang-orang Arab Jahiliyah, lalu dibalasnya dengan kebaikan.
Baca juga Kembali ke Fitrah Perdamaian
Hal inilah yang membuat para penulis Barat terpesona dengan jejak langkah Sultan Saladin, yang berhasil menaklukkan ego-ego pribadinya dalam menghadapi keganasan musuh-musuhnya. Pejuang Muslim yang dikenal rendah hati itu, setelah menaklukkan Jerusalem, justru menolong Raja Richard pada saat musuhnya itu menghadapi situasi sulit lantaran kudanya terbunuh dalam suatu pertempuran. Ketika Raja Richard sakit keras, Sultan Saladin mengirimkan dokter-dokternya untuk memberikan pengobatan. Bahkan, ia sempat menyamar sebagai dokter untuk menjenguk dan mengetahui perkembangan kesehatan Raja Richard.
Pada prinsipnya, esensi ajaran Islam tentang akhlaqul adzimah penting sekali untuk dikedepankan dalam konteks saat ini. Wacana-wacana yang berkembang selayaknya diarahkan kepada jenis literatur yang bermaslahat, hingga dapat menyentuh dan menggugah jiwa semua lapisan masyarakat. Kualitas dakwah dan syiar Islam harus diperjuangkan secara baik dan elegan, hingga dapat menghasilkan penghargaan dan sikap toleransi pada semua pihak.
Jiwa pemaaf
Jika bertolak dari kajian antropologi filosofis Hannah Arendt, jalan keluar dari keterbatasan pikiran manusia adalah sikap arif dan rendah hati, yang diwujudkan dalam tindakan nyata, yakni memberi maaf. Tanpa pemaafan, hidup manusia akan terus-menerus terbelenggu dan terpenjara kesalahan masa lalu, bahkan harus menanggung konsekuensi tindakan yang keliru untuk selama-lamanya.
Baca juga Hikmah Puasa bagi Perdamaian
Melalui sikap rendah hati dan memberi maaf, umat manusia saling membebaskan diri dari apa yang telah terjadi untuk kemudian terlahir kembali menjadi manusia merdeka. Hanya dengan kehendak dan keikhlasan untuk saling menghapus kesalahan, manusia dapat membuka lembaran baru dalam kehidupan privat dan publiknya.
Terkait dengan ini, karena manusia adalah makhluk sosial, maka saling memaafkan menjadi kebutuhan yang sangat vital. Manusia hidup di tengah-tengah manusia lain yang serbaunik dan otentik. Manusia otentik bukanlah individu atomik yang teralienasi dari dunia benda-benda material lainnya. Oleh karena itu, kekuatan maaf menjadi perekat yang mengintegrasikan individu-individu yang majemuk.
Baca juga Puasa: Meraih Hidup Bermakna
Di sisi lain, jiwa besar untuk menerima kelemahan dan keterbatasan manusia memang bukan perkara mudah. Membebaskan diri dari kekhilafan, atau mengakui pihak lain sebagai yang lebih benar, dibutuhkan hati yang lapang dan terbuka. Tetapi bagaimanapun, keutamaan memberi maaf adalah sifat dasar atau fitrah manusia yang bertindak dan berkomunikasi antarsesamanya dalam ruang kehidupan yang kompleks. Kemampuan bertindak dan berbicara di antara sesamanya inilah keistimewaan yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk Tuhan lainnya.
Kemenangan melawan hawa nafsu perlu dipahami secara holistik dan mendalam. Kita dituntut agar menjadi pribadi-pribadi yang arif dan bijak, setelah ibadah puasa ditunaikan selama sebulan penuh. Nabi Muhammad pernah memperingatkan, betapa banyak orang berpuasa menahan lapar dan dahaga, tetapi mereka tidak memperoleh apa-apa selain lapar dan dahaga. Pembebasan terhadap dosa dan kesalahan akan tercermin dari pemekaran hati nurani dengan sikap yang rendah-hati untuk memberi maaf kepada sesamanya.
Esensi Idul Fitri
Memberi maaf dan berjanji untuk tidak mengulangi kekhilafan, inilah yang harus menjadi esensi dari Idul Fitri. Kapasitas bertindak yang mencirikan jati diri manusia memang terbatas sehingga dampak dari kesalahan, sering kali menjadi sesuatu yang tidak dapat dihapuskan begitu saja. Oleh karena itu, kekuatan maaf menjadi perekat yang mengintegrasikan individu-individu yang berbeda, hingga menghindarkan manusia dari sirkuit balas dendam sebagai reaksi alamiah atas kesalahan yang diperbuat orang lain.
Baca juga Membaca Pikiran Teroris
Nabi Muhammad pernah menegaskan bahwa menahan hawa nafsu adalah jihad yang paling besar. Inilah yang perlu digarisbawahi, mengingat sebagian masyarakat Muslim menganggap bahwa jihad itu identik sebagai perjuangan dengan mengangkat senjata. Seusai pertempuran Badar, sebagian sahabat Nabi yang mengalami euforia kemenangan, ditegur oleh Nabi bahwa kemenangan pertempuran hanyalah jihad kecil-kecilan. Para sahabat tersentak kaget, ”Lalu, jihad macam apa yang besar itu, ya Rasulullah?”
”Kesanggupan kalian dalam menahan hawa nafsu. Itulah jihad yang sebenarnya.”
Baca juga Ramadhan Bulan Membaca
Jawaban Nabi Muhammad membuat banyak sahabat tertegun, seraya membawa mereka pada sikap introspeksi diri bahwa euforia atas kemenangan yang bersifat duniawi—termasuk kemenangan politik—adalah jalan keliru yang boleh jadi akan menggelincirkan manusia pada sifat ujub dan takabur.
Manusia akan sanggup menempuh derajat Ahimsa atau akhlaqul adzimah manakala ia sanggup menyarungkan segala egoisme pribadi dan golongannya. Terkadang ada orang yang merasa dizalimi, seolah-olah merasa perlu membalas untuk melakukan sesuatu yang lebih dari perlakuan musuhnya. Watak temperamental ini selalu membenarkan cara-cara untuk membalas keburukan dengan sesuatu yang lebih buruk lagi. Hal ini sama sekali tidak mencerminkan umat beragama yang baik, yang mestinya mengedepankan sifat pemaaf atas kesalahan yang diperbuat sesamanya.
Baca juga Puasa sebagai Emansipasi
Menjadi pemaaf dibutuhkan jiwa yang lapang dan merdeka. Untuk meraih kemerdekaan jiwa dan kelapangan hati nurani, dibutuhkan kesanggupan untuk berjuang menaklukkan ego-ego yang bersemayam dalam diri kita. Sebab, hanya dengan mengatasi musuh dalam diri sendiri, manusia akan sanggup menghidupkan kreativitas demi untuk menumbuhkan dan memekarkan nilai-nilai religiositas dan peradaban yang luhur.
*Artikel ini terbit di Kompas.ID, 3 Mei 2022
Baca juga Puasa, Mosaik Spiritualitas Luhur