16/09/2023

Memastikan Dukungan Terbaik di Ruang Pendidikan

Oleh: Anggi Afriansyah
Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN

Setelah mengikuti lomba tujuh belas Agustus di sekolahnya beberapa waktu lalu, anak kami bercerita tentang pengalamannya tersebut. Ia sampaikan sangat suka dengan dukungan kedua guru kelas dan teman-temannya ketika mengikuti lomba. Dengan bersemangat dia sampaikan kepada kami, ”Tadi Abang jatuh pas lomba balap karung, tetapi tidak menyerah karena guru-guru dan teman-teman semua berteriak kasih semangat.”

Ia sempat terjatuh, tetapi ketika semua meneriakkan namanya dan memberi dukungan untuknya, semangatnya tumbuh kembali. Ia sangat gembira didukung oleh kedua guru dan teman-teman di kelasnya. Di luar lomba, tampak ia senang sekali bersekolah sebab mendapat lingkungan kondusif untuk belajar juga bermain.

Kata-kata memang sederhana, tetapi bisa membakar semangat atau sebaliknya melukai orang. Penerimaan kata-kata bagi anak-anak bisa jadi sangat berbeda di antara setiap anak. Sangat juga bergantung pada bagaimana anak-anak tersebut tumbuh. Ungkapan memojokkan, meledek, merendahkan merupakan kekerasan verbal.

Baca juga Generasi Digital Harus Melakukan Detoksifikasi Teknologi

Dalam buku Penindas, Tertindas, dan Penonton, Barbara Coloroso (2006) menyebut tiga jenis penindasan, yaitu verbal, fisik, dan relasional. Kemudian, penindasan verbal antara lain pemberian julukan nama, fitnah, kritik kejam, penghinaan, pelecehan seksual, ancaman kekerasan, tuduhan tidak benar, kasak-kusuk, dan gosip. Jika tak hati-hati, orang dewasa (orangtua dan guru) dapat terjebak melakukan penindasan verbal ketika berupaya mendidik anak-anak. Di situasi tersebut, sekolah perlu menjadi oase di mana kata-kata yang membakar semangat perlu digelorakan.

Ketika anak-anak mendapat kata-kata yang menguatkan semangat, sangat mungkin ia menjadi termotivasi untuk melakukan setiap aktivitas yang sedang dilakukan. Sebab, ia mendapatkan dukungan untuk menyelesaikan aktivitas yang sedang dilakukan. Anak-anak kemudian dapat bertanggung jawab terhadap setiap aktivitas yang dilakukan, menyelesaikan dengan upaya terbaik mereka, dalam kesadaran penuh tanpa paksaan.

Pada titik ini, sekolah sebagai salah satu ruang pendidikan perlu membangun arena pendidikan yang memampukan anak untuk mengenali diri dan mengembangkan potensi tersebut secara bertanggung jawab. Tentu akan semakin baik jika setiap proses pendidikan, yang sering kali penuh beban, dapat ditempuh dengan riang gembira oleh setiap anak. Anak-anak jadi terbangun rasa tanggung jawab, empati, dan simpati.

Baca juga Melampaui Bayang-bayang Pendidikan

Pergi dan pulang dari sekolah dengan riang gembira merupakan hal penting. Sebab, saat ini kita justru menyaksikan betapa sekolah menjadi salah satu ruang yang tidak aman bagi anak-anak. Sekolah tempat anak-anak mendapatkan pencerahan dari segi intelektual dan karakter, lokus yang menjadikan mereka siap menghadapi masa depan, justru sering kali menjadi ruang yang menyeramkan untuk sebagian anak.

Paradoks pendidikan

Perundungan, kekerasan verbal ataupun fisik, dan kisah suram lain masih dengan mudah kita dengar ceritanya. Bukan di pasar, di ring tinju, di jalanan yang semrawut, tetapi justru di sekolah. Sering kali kasus-kasus perundungan dan kekerasan lainnya tidak selesai karena sekolah tak berhasil menangani kasus ini secara optimal dan tuntas.

Mereka yang dirundung bisa jadi bertahan di sekolah tersebut dengan memendam rasa khawatir atau terpaksa pindah untuk menghindari masalah. Anak-anak yang mengalami perundungan tetap khawatir pergi ke sekolah karena pihak perundung tetap melenggang nyaman dan sekolah tampak tak peduli. Jika anak khawatir dan takut pergi ke sekolah, tentu ada yang salah dengan sekolah tersebut.

Baca juga Mewaspadai Konten Kotor Content Creator

Kadang di era saat ini, sekolah baru menganggap kasus dan peduli ketika kasus tersebut sudah viral. Meski ragam aturan dan panduan terkait perundungan dan kekerasan sudah ada, tampak operasionalisasinya masih mendapat tantangan. Dalam rentang beberapa tahun terakhir penanganannya masih cenderung reaksioner (Afriansyah, 2023).

Perkara lain, di sekolah juga terjadi penyeragaman cara berpikir. Anak-anak usia dini yang memiliki bekal dan kapasitas untuk selalu bertanya, misalnya, kemudian berubah menjadi sosok yang pendiam, tidak mau ambil risiko, patuh, dan serba takut setelah masuk ke sekolah.

Sekolah justru mengubah manusia yang kritis, penuh tanya, dan antusias dalam belajar menjadi sosok yang sebaliknya. Anak-anak menjadi tidak merdeka di ruang yang seharusnya membangun jiwa-jiwa merdeka. Ada kegagapan pergaulan ketika mereka berhadapan dengan sesama siswa yang beragam baik dari pola pikir maupun ragam atribusi lain, seperti isu sosial budaya, kelas sosial, dan agama.

Baca juga Menanti Pendidikan Ramah Anak

Di sisi lain, kompetisi di ranah pekerjaan dibawa lebih awal ke ruang persekolahan, salah satunya dengan upaya untuk lebih fokus pada pengejaran nilai akademik. Bukan berarti nilai-nilai akademik tidak penting, tetapi yang jadi soal, kita sering terjebak pada laku yang menghalalkan segala cara di ranah kompetisi akademik.

Sekolah yang menjadi ruang internalisasi nilai-nilai kebajikan kemudian terjebak pada situasi kompetisi yang kadung melupakan nilai-nilai tersebut. Pada situasi tersebut, yang harus dibangun adalah bagaimana setiap tindakan yang dilakukan oleh anak-anak dilakukan atas kesadaran diri dan penuh tanggung jawab.

Situasi ketika guru harus momong, among, ngemong, meminjam pemikiran Ki Hadjar Dewantara, justru terlupakan secara perlahan. Jika menggunakan perspektif tersebut, maka guru harus telaten dalam menemani setiap proses pendidikan yang dilakoni oleh para peserta didik di sekolah. Jika momong, among, ngemong terinternalisasi pada setiap laku guru di sekolah, niscaya tindakan destruktif di sekolah, seperti perundungan, kekerasan seksual, dan tindakan kekerasan lain, tidak akan mendapatkan tempat.

Baca juga Agustusan, Ada Pilu dalam Gelak Tawa

Saat ini anak-anak mendapatkan tekanan yang besar dalam kehidupannya. Dunia kerja saat ini, misalnya, selalu mengedepankan sisi kompetitif ketimbang kolaboratif. Jika ingin unggul, maka kalian harus memiliki kompetensi di bidang pekerjaan yang kalian inginkan, demikianlah kira-kira yang muncul.

Situasi yang menyebabkan kompetisi harus dibentuk sejak dini. Semua harus punya kompetisi untuk mampu bertahan di kerasnya medan juang kehidupan. Mekanisme survival of the fittest di kehidupan nyata akhirnya diterapkan di sekolah.

Anak-anak akhirnya tidak menikmati proses mendapat pendidikan, sebab ada banyak pengetahuan dan keterampilan yang harus dijejalkan, sebagai investasi masa depan mereka, juga kompetisi yang melelahkan. Padahal, bisa jadi tidak semua pengetahuan dan keterampilan mereka butuhkan untuk menghadapi hari esok atau tidak relevan dengan konteks di mana mereka hidup.

Baca juga Pendidikan dan Pencegahan Perundungan Digital

Pada akhirnya, meraih pendidikan semakin melelahkan karena banyak hal yang harus dikorbankan oleh anak-anak. Ketika ada ketidakseimbangan dalam proses meraih pendidikan, juga anak-anak tidak mendapat ruang untuk lebih mengenali dirinya, atau tidak diberi pemahaman utuh bahwa pendidikan memiliki tujuan, dalam bahasa Ki Hadjar Dewantara, meraih ”keselamatan dan kebahagiaan”, maka tidak heran jika yang muncul di ruang pendidikan justru ragam problem yang menyebabkan sekolah menjadi tak aman.

Tampaknya ”keselamatan dan kebahagiaan” bukan kosakata yang populer di ruang pendidikan hari ini. Kosakata yang lebih populer di ruang pendidikan memang terkait dengan kompetisi, daya saing, keunggulan, atau produktivitas. Kosakata yang lazim dipaparkan di dunia kerja.

Di sisi lain, bagaimana anak-anak mendapat pencerahan jika di sekolah justru ditampilkan situasi ketidakadilan sosial, ketimpangan, kecurangan, atau kekerasan. Jika mereka tak dapat bimbingan memadai untuk menjadi ”manusia seutuhnya”. Jika mereka bahkan tak mendapat ruang untuk mengaktualisasikan diri sebagai manusia yang dapat berkontribusi terhadap kemanusiaan.

Baca juga Tahun Baru 1445 Hijriah Umat Islam Harus Berubah Nasib

Terutama untuk anak-anak keluarga miskin yang sehari-hari menghadapi ketidakadilan di berbagai bidang, juga di ruang pendidikan. Mereka menghadapi risiko menghadapi kekerasan verbal dan fisik lebih besar daripada anak-anak sebayanya di kelas sosial yang berbeda. Juga kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang lebih mengayomi.

Dalam proses tersebut, Ki Hadjar Dewantara menjabarkan metode ngerti, ngrasa, nglakoni (menyadari, menginsafi, melakukan). Ki Hadjar percaya bahwa berbagai perilaku dapat terinternalisasi ketika anak-anak mendapatkan pengajaran kebaikan, dan hal tersebut harus dilakukan secara sengaja atau dikonstruksi. Laku kebaikan merupakan konstruksi dan internalisasi yang dilakukan secara sadar di ruang pendidikan.

Ngerti, ngrasa, nglakoni adalah tahapan demi tahapan yang harus dilakukan untuk memastikan tujuan pendidikan dapat dilakukan. Hal tersebut harus dibangun dalam ruang pendidikan, tak bisa hanya mengandalkan satu-dua guru yang sadar, tetapi harus dalam struktur dan kultur sekolah sehingga setiap anak mendapatkan dukungan terbaik untuk meraih pendidikan terbaik.

*Artikel ini terbit di Kompas.id, esidi Jumat 15 September 2023

Baca juga Oleh-Oleh Haji: Perjuangan tanpa Kekerasan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *