Jihad Kesantunan Berbahasa Era Demokrasi
Oleh: Faizin
Dosen Pendidikan Bahasa Indonesia; Kepala Divisi Internasionalisasi Bahasa Universitas Muhammadiyah Malang; Direktur Riset RBC A Malik Fadjar Institute
Menyoal penggunaan bahasa seolah bukan urgensi yang harus dibahas di republik ini. Kita hanya ramai menyoalkannya pada saat bulan Oktober sebagai seremoni bulan bahasa semata. Bahkan, kita pesimistis terhadap peran dan fungsi bahasa dalam fungsi sosial dan budaya. Bahasa dirasa bukan bagian penting dari sirkulasi pemertahanan hubungan sosial antarmasyarakat yang berujung terhadap dinamika perkembangan zaman.
Penempatan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara memiliki arti bahwa penggunaan bahasa tersebut sebagai identitas sosial masyarakat Indonesia yang meleburkan identitas pribadi menjadi kelompok yang satu, yakni masyarakat Indonesia dengan kemajemukannya. Sayangnya, hal tersebut tidak terdistribusikan dalam penggunaannya. Oleh karena itu, perilaku komunikasi massa ini menjadi keterampilan otodidak yang tidak bertaut dengan pemahaman konsep kebahasaan yang baik dan benar.
Baca juga Kekerasan Pemuda, Cermin Asuhan Keluarga
Banyak aspek yang berkaitan dengan bahasa ini dikaji secara terpisah dengan berbagai kajian lain. Keberadaan bahasa Indonesia dengan ketatabahasaannya memiliki fungsi dalam dimensi sosial kemasyarakatan. Penggunaan bahasa tidak semata tentang ilmu bahasa tersebut, tetapi berkaitan dengan kebudayaan, aturan yang berlaku di masyarakat, perkembangan individu, dan gejala-gejala sosial lainnya. Ambil contoh sederhana banyaknya ujaran kebencian dan berbagai konflik sektoral berbanding lurus dengan ketidakpahaman konteks penggunaan bahasa dalam komunikasi massa.
Hal senada ditunjukkan oleh Katubi dalam tulisannya yang berjudul Bahasa, Identitas, dan Konflik yang mengemukakan bahwa bahasa memiliki relevansi dengan konflik. Bahasa dalam komunikasi memainkan berbagai peran dalam konflik. Bahasa mempunyai ciri luar biasa untuk menjadi komponen perekat harmonisasi dan sekaligus menjadi daya rusak harmonisasi atas keserampangan penggunaannya. Karena itu, ada hubungan bahasa, identitas, dan konflik.
Baca juga Ramadhan dan Kesalehan Negara
Sayangnya, jika kita membaca berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan konflik, tidak banyak yang membahas hubungan aspek bahasa dalam kajiannya. Artinya, aspek bahasa seolah-olah tidak ada hubungannya dengan konflik disebabkan bahasa terimplikasi secara inheren pada aktivitas sosial sehari-hari yang jarang diisolasi mandiri sebagai sebuah variabel penyebab konflik.
Belum lagi kita dihadapkan pada dimensi demokrasi era digital yang seolah memberikan kebebasan terhadap perilaku berbahasa yang serampangan yang merongrong harmonisasi kemajemukan masyarakat. Hal itu ditunjukkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika yang merilis data kasus ujaran kebencian di ruang digital sebanyak 3.640 kasus. Dengan demikian, kompetensi bahasa bukan semata upaya agar dapat berkomunikasi, melainkan menjadi kesadaran kolektif terhadap kedudukan serta fungsi dalam penggunaannya sesuai kaidahnya.
Komunikasi massa
Dalam kajian sosiolinguistik, bahasa sebagai sarana komunikasi memiliki dasar, motif, dan fungsi sebagai alat untuk mengadakan kontrol sosial. Dengan demikian, elemen komunikasi massa dapat kita mulai dari dinamika bahasa yang santun dan beretika.
Baca juga Kekerasan Budaya
Pola komunikasi yang serampangan akan berakibat terhadap perilaku dan sikap masyarakat yang serampangan pula. Sebab, pola komunikasi tersebut memiliki hubungan erat terhadap sikap dan mental seseorang dalam memilih dan menggunakan bahasa.
Efek komunikasi meliputi aspek kognitif, konatif, dan afektif. Efek kognitif tersebut mengacu terhadap informasi yang didapatkan dalam sebuah komunikasi, efek konatif merupakan tindakan yang dilakukan setelah penerimaan informasi tersebut, dan efek afektif terhadap pelibatan perasaan ataupun faktor psikologis dari komunikasi yang dilakukan, baik itu bersifat senang, marah, maupun sedih dan sebagainya. Walaupun pada dasarnya setiap individu bebas memilih bahasa dan bebas pula menggunakan bahasa tersebut.
Baca juga Manusia Digital dan Ke(tidak)bebasan
Tanpa disadari, setiap tuturan bahasa dalam komunikasi akan berakibat terhadap berbagai fenomena kultural bahasa yang berakibat terhadap budaya bahasa serta sistem sosial masyarakat sehari-hari. Dalam hal ini, dampak komunikasi memengaruhi sikap, cara pandang, dan kebiasaan masyarakat.
Kesantunan berbahasa
Sudah banyak sebenarnya penelitian terkait bagaimana dinamika komunikasi ini harus mendapatkan perhatian serius. Akan tetapi, hasil penelitian tersebut hanya menjadi hiasan kepustakaan di berbagai lembaga pendidikan. Hasil dari penelitian tersebut seolah kalah dengan hasrat kekuasaan, motif politik, dan ego individual.
Pentingnya kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) mendorong pelaku komunikasi menggunakan bahasa dengan cermat dan santun. Hal ini harus dijadikan sebagai faktor yang besar pengaruhnya terhadap kegiatan menggunakan bahasa (language use) dalam komunikasi di masyarakat.
Baca juga Pendidikan Tanggung Jawab Bersama
Sebenarnya penggunaan bahasa telah ditetapkan dalam konstitusi yang dituangkan pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu dan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 Pasal 2, yakni masyarakat Indonesia wajib menggunakan bahasa yang baik dan benar. Dalam hal ini penggunaan bahasa yang baik merujuk terhadap konteks dan penggunaan yang benar merujuk terhadap kaidah bahasa yang digunakan sehingga penggunaan bahasa terbalut terhadap berbagai aspek berikut.
Aspek pertama adalah sosial (the social-norm view), dalam hal ini kesantunan dalam bertutur ditentukan berdasarkan norma-norma sosial dan kultural yang ada dan berlaku di masyarakat sehingga akan memunculkan etiket berbahasa (language etiquette). Aspek kedua adalah kesantunan sebagai sebuah maksim percakapan (conversational maxim) yang tidak mempermalukan lawan komunikasi.
Baca juga Ruang Merawat Diri
Aspek ketiga adalah terpenuhinya sebuah kontrak percakapan (conversational contract). Hal ini terwujud dengan bertutur yang penuh pertimbangan terhadap lawan komunikasi. Aspek keempat adalah pandangan kesantunan yang berkaitan sebuah indeks sosial (social indexing) dalam bentuk-bentuk referensi sosial (social reference), ungkapan penghormatan (honorific), dan gaya bicara (style of speaking).
Semoga jihad tersebut akan menjadi perilaku baru di masyarakat dan menumbuhkan sikap-sikap positif berbahasa terhadap generasi bangsa dan menjadikan adaptasi komunikasi baru di masyarakat.
*Artikel ini terbit di Kompas.id, 12 April 2023