Mitos Literasi dan Kemalasan
Oleh: Frial Ramadhan Supratman
Pustakawan di Perpustakaan Nasional RI
Pada 15 September 2023, situs web Business Insider menerbitkan berita mengenai seorang CEO sebuah perusahaan yang mengatakan bahwa pandemi telah menyebabkan para pekerja menjadi malas karena mereka bekerja dari jarak jauh (remote work). Pernyataan ini memperkuat pernyataan salah satu orang terkaya di dunia, Elon Musk, bahwa kerja jarak jauh itu ”salah secara moral” (Kirschner, 2023). Pernyataan mengenai ”kemalasan” tentu saja menuai banyak kritik dari kalangan pekerja.
Kemalasan memang telah menjadi istilah yang umum di kalangan masyarakat. Di Indonesia, ”malas” sering diucapkan di mana-mana, baik itu di ruang publik maupun privat. Kata ini bahkan telah menjadi label untuk orang-orang yang memiliki performa buruk dalam hal apa pun.
Baca juga Tentang Literasi
Bahkan, kata ”malas” sering kali dituduhkan untuk hal-hal yang sebenarnya disebabkan oleh kegagalan struktural. Banyak orang, misalnya, yang mengaitkan antara kemiskinan dan kemalasan, tanpa berpikir lebih jauh mengenai apa yang menyebabkan orang-orang tersebut malas. Intinya, kata ”malas” sudah meresap di hampir semua kehidupan sehari-hari.
Di era sekarang, istilah ”malas” terus-menerus diproduksi untuk memberikan label kepada mereka yang menghindari ”kemajuan”. Bahkan, ”malas” juga sering kali disematkan kepada masyarakat yang memiliki tingkat literasi rendah. Istilah ”malas membaca” tentu sering kita dengar. ”Orang Indonesia malas membaca” merupakan pernyataan yang tidak sulit ditemukan di mesin pencari Google.
Baca juga Menggunakan Teknologi AI bagi Kemanusiaan
Selintas ini menjadi bahan otokritik bagi Indonesia, tetapi di sisi lain kita juga perlu mencari tahu lebih dalam dan lebih kritis mengapa ”orang Indonesia malas membaca” untuk mengetahui akar permasalahannya. Mengapa masyarakat yang sudah sangat lama ”terpapar” oleh aktivitas literasi –dibuktikan dengan kekayaan manuskrip Nusantara di masa lalu yang tersimpan di berbagai perpustakaan— kini disebut malas membaca dan memiliki indeks literasi yang rendah?
Mitologisasi literasi
Sejarawan Yuval Noah Harari, dalam bukunya yang berjudul 21 Lessons for the 21st Century, menyatakan bahwa ”Manusia berpikir dalam bentuk cerita daripada dalam bentuk fakta, angka atau rumus, dan semakin sederhana sebuah cerita, maka akan semakin baik” (Harari, 2019). Pernyataan Harari tentu saja membutuhkan pembuktian yang empirik dan masuk akal. Sulit untuk mengujinya secara kuantitatif, tetapi pembuktian historis tampak lebih masuk akal.
Sejarah memperlihatkan, manusia hidup dari satu mitos ke mitos lain. Mitos mengenai globalisasi, misalnya, menyatakan bahwa globalisasi akan membawa manusia pada kesejahteraan untuk negara sehingga negara harus membuka pintu selebar-lebarnya untuk perdagangan bebas, pertukaran ide dan tenaga kerja. Mitos ini ditekankan tanpa mempertimbangkan ”mulai” atau start, di mana setiap masyarakat tidak start di posisi yang sama ketika menyepakati globalisasi. Bagaimana dengan literasi? Apakah istilah ini juga mengalami mitologisasi?
Baca juga Integritas Santri dan Mandat Keadaban Publik
Berdasarkan Kamus Merriam-Webster, literasi adalah kualitas atau keadaan untuk menjadi literate. Sementara istilah literate terbagi menjadi berbagai arti, seperti ”terdidik”, ”berbudaya”, ”mampu membaca dan menulis”, ”mengetahui sastra dan penulisan kreatif”, ”lucid dan terasah (polish)”, serta ”memiliki pengetahuan dan kompetensi”.
Secara etimologi, definisi ”literasi” berasal dari bahasa Latin abad ke-15, yaitu literatus, yaitu orang yang terdidik, terpelajar yang mengetahui letter, yaitu alfabet dan kemampuan menulis, memahami dokumen, sastra, sains, dan lain-lain. Secara sederhana, segala hal mengenai tulis-menulis merupakan literasi. Jika demikian, meskipun kata ini bukan berasal dari bahasa Melayu, orang-orang yang disebut literate sudah banyak bermukim di Indonesia jauh sebelum kedatangan bangsa-bangsa Eropa. Bahkan, jika literate diartikan secara umum, yakni mereka yang terdidik dan berbudaya, maka orang-orang Indonesia sejak dahulu sudah sangat layak disebut literate.
Baca juga Perundungan, Otak, dan Karakter Pelajar
Mitologisasi terhadap literasi muncul ketika ideologi imperialisme Eropa yang membawa etos kapitalisme masuk melalui kolonialisme. Sejak itu apa yang disebut ”terdidik” dan ”berbudaya” mengalami perubahan. Salah satu ciri kapitalisme adalah keinginan untuk melakukan homogenisasi atas pertimbangan pasar (market). Bagaimana hari ini pemuda di Indonesia banyak menggunakan celana blue jeans untuk bepergian, bukan sarung atau kain tradisional, adalah bentuk homogenisasi yang dilakukan oleh kapitalisme.
Homogenisasi pun terjadi dalam literasi, bahkan hingga hari ini. Literasi dan kaum literate di Indonesia pun tidak dapat menghindari hal tersebut. Ide Pencerahan (Enlightenment)—yang terkadang rasis karena menekankan superioritas Eropa—menjadi indikator literasi dan kaum literate. Mereka yang ingin masuk ke dalam ”klub” kaum literate mau tidak mau harus mengikuti cara berpikir Pencerahan.
Baca juga Membumikan Kebudayaan Inklusif
Itulah mengapa kaum santri, pada awal abad ke-20, terlihat inferior dibandingkan kelompok priayi Jawa yang mendapatkan pendidikan modern dengan kurikulum Belanda. Padahal, kaum santri merupakan kaum yang outward looking, melihat ke luar, memiliki koneksi global dan bergerak dinamis antara Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Sejak itu literasi sudah mengalami mitologisasi karena diterima begitu saja tanpa membuka pintu kesempatan untuk digugat. Kita dipaksa menerima mitos bahwa literasi adalah sesuatu yang berhubungan pendidikan dan kebudayaan yang terkait dengan ide Pencerahan. Kemampuan membaca huruf Latin, bahkan bahasa Inggris, terus-menerus diproduksi di tengah hegemoni kapitalisme yang juga menguasai dunia perbukuan dan pendidikan.
Baca juga Memastikan Dukungan Terbaik di Ruang Pendidikan
Untuk itu, tidak heran jika Indonesia terus berada pada posisi yang rendah dalam indeks literasi global dibandingkan Inggris, Amerika Serikat, Jerman, dan Jepang. Bukan karena masyarakat Indonesia bodoh, tetapi karena kebanyakan masyarakat sudah terbiasa menerima literasi sebagai sebuah mitos yang terus-menerus diproduksi, meski dengan kesadaran yang penuh. ”Kita sadar namun menerima” merupakan hasil kerja keras dari suatu hegemoni kelompok yang dominan.
Masyarakat malas
Rendahnya tingkat literasi dan sedikitnya kelompok literate sering kali dikaitkan dengan kemalasan yang diproduksi untuk pembenaran atas keterbelakangan suatu masyarakat dan negara. Pembenaran atas klaim bahwa literasi yang rendah merupakan hasil dari kemalasan suatu masyarakat merupakan hal yang berbahaya karena ini dapat menjadi pintu masuk bagi inferiorisasi suatu masyarakat. Hal ini pernah terjadi pada abad ke-19 ketika orang Jawa, Melayu, dan Filipina dianggap sebagai bangsa yang malas sehingga tidak kompeten menjalankan industrialisasi. Hal ini kemudian menjadi pintu masuk bagi kolonialisme dengan dalih membawa ”misi memperadabkan” bangsa pribumi yang malas (Alatas, 2006).
Hal ini bisa saja terjadi di masa kini jika kita menormalisasi keterkaitan antara rendahnya tingkat literasi dan kemalasan. Data yang dipaparkan secara terbuka dan dapat diakses oleh miliaran orang di dunia mengenai rendahnya tingkat literasi Indonesia tentu berbahaya jika tidak disertai dengan penjelasan secara kualitatif.
Baca juga Generasi Digital Harus Melakukan Detoksifikasi Teknologi
Mitos literasi yang dipertontonkan secara terbuka memperlihatkan bahwa kebanyakan negara maju (developed countries) yang berorientasi kapitalistik, menerima hegemoni Liberal International Order dan terhubung dengan ide Pencerahan, merupakan negara dengan tingkat literasi yang tinggi. Sebaliknya, mereka yang masih memiliki tingkat literasi rendah dikaitkan sebagai negara yang ”belum siap” menerima Pencerahan dan kemajuan.
Narasi ”belum siap” selanjutnya dapat terus bergulir dalam berbagai bidang kehidupan, baik itu investasi, perdagangan, tenaga kerja, pendidikan, maupun berbagai masalah lainnya. Jika narasi tersebut kemudian dinormalisasi, bisa saja investasi yang masuk ke Indonesia nantinya tidak akan signifikan karena ada gambaran—dan mitos—bahwa literasi yang rendah disebabkan kemalasan dari masyarakatnya sehingga tidak cukup kompetitif. Atau, jikapun ada, bisa jadi tenaga asing lulusan kampus Ivy League akan lebih dipandang tinggi dibandingkan lulusan-lulusan kampus lokal.
Baca juga Melampaui Bayang-bayang Pendidikan
Rendahnya tingkat literasi perlu diberikan penjelasan kualitatif yang bernuansa historis agar masyarakat dunia mengerti bahwa tidak ada kaitan antara literasi dan kemalasan, tetapi kaitannya adalah dengan kesempatan yang dimiliki. Literasi membaca, matematika, dan sains anak Indonesia yang rendah tidaklah disebabkan oleh karena mereka malas, tetapi memang kesempatan dan fasilitas yang kurang terdistribusi dengan baik.
Jika berkenan, pembaca dapat berkunjung ke perpustakaan-perpustakaan sekolah dan umum di pelosok Indonesia untuk melihat kesempatan dan fasilitas tersebut. Apakah di sana dapat ditemukan buku-buku dari Orhan Pamuk, Pierre Bourdieu, Edward Said, atau jurnal-jurnal sains terkemuka, seperti Nature? Jika ada, tentu jumlahnya tidak banyak.
Baca juga Mewaspadai Konten Kotor Content Creator
Bagaimana mengadili kemalasan jika kesempatan dan fasilitas untuk belajar dan membaca saja minim didapatkan? Mereka bukan ”belum siap” untuk kemajuan, tetapi menunggu kesetaraan dan pemerataan datang menjemput. Sekali lagi, argumen yang digagas oleh penulis dalam artikel ini adalah bahwa tidak ada keterkaitan sama sekali antara literasi yang rendah dan kemalasan karena literasi itu sudah mengalami mitologisasi dan pelabelan malas sering kali digunakan untuk melakukan inferiorisasi terhadap suatu masyarakat.
*Artikel ini terbit di Kompas.id, edisi Sabtu, 18 November 2023
Baca juga Menanti Pendidikan Ramah Anak