Perundungan, Otak, dan Karakter Pelajar
Oleh: Badrul Munir
Dosen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang; Dokter di RSUD dr Saiful Anwar Malang
Ada dua hal yang sangat meresahkan dalam perundungan yang sedang marak di kalangan pelajar di Tanah Air beberapa bulan terakhir ini, yakni usia pelaku dan dejarat perundungan yang sangat berat. Berdasarkan data Federasi Serikat Guru Indonesia pada 2023, sebanyak 25 persen kasus perundungan dilakukan oleh pelajar usia dini, yakni SD dan SMP, dan 18 persen perundungan dilakukan pelajar SMA/SMK, bahkan perundungan juga terjadi di madrasah dan pesantren walaupun persentasenya kecil.
Dan yang memprihatinkan, banyak kasus perundungan pelajar dalam kategori berat bahkan menjurus kriminal. Beberapa video perundungan pelajar dengan kekerasan berat yang menyebar melalui media sosial ini mengindikasikan telah hilang karakter pelajar dan ada yang salah dalam proses pendidikan nasional dalam hal pembentukan karakter yang perlu segera ditangani.
Baca juga Membumikan Kebudayaan Inklusif
Pembentukan karakter pelajar adalah salah satu hal yang agak dilupakan dunia pendidikan di negeri ini, upaya pemerintah untuk memperbaiki kurikulum dengan berusaha memasukkan pendidikan moral atau pendidikan karakter di pembelajaran sekolah ternyata belum menunjukan hasilnya. Hal ini terbukti masih banyak kasus kenakalan pelajar, seperti penyalagunaan narkoba, pelecehan seksual dan masifnya perundungan yang dilakukan pelajar akhir-akhir ini.
Karakter
Otak merupakan organ tubuh yang menjadi pembeda antara manusia dan makhluk hidup lainnya karena Tuhan memberi fungsi luhur (high cortical function) yang tertanam di otak manusia. Fungsi luhur ini antara lain berbahasa, fungsi memori, berpikir, analisis, dan memutuskan sesuatu sehingga manusia bisa menjadi mahkluk hidup yang sempurna dengan kemampuan cipta rasa tinggi dan bisa berperilaku serta berkarakter baik.
Semua proses fungsi luhur manusia (termasuk otak yang berperan dalam perilaku) dipengaruhi oleh tumbuh kembang sel otak dan hubungan antarsel otak (sinap). Sinaps adalah jonjot saraf yang menghubungkan antarsel otak (neuron), dan proses pembentukan sinap ini dimulai sejak bayi dalam kandungan, lahir, dan mencapai puncaknya saat berumur 11 tahun (usia SD) yang bisa berlanjut hingga usia 16 tahun (sampai SMP). Maka, usia pendidikan dasar dan menengah merupakan fase terpenting dalam pembentukan karakter anak.
Baca juga Memastikan Dukungan Terbaik di Ruang Pendidikan
Ada dua hal yang sangat memengaruhi tumbuh kembang otak, yaitu genetik dan lingkungan, tetapi ilmu neurosains menunjukkan bahwa lingkungan lebih dominan dibandingkan genetik. Teori neurogenesis dan neuroplastisiti membuktikan bahwa sinap akan terbentuk dan terus berubah bentuk dan fungsinya sesuai stimulus yang masuk ke dalam otak manusia. Apabila stimulus baik, maka baiklah proses neurogenesis dan begitu juga sebaliknya. Maka, apabila ingin membentuk sinap berkarakter pelajar maka sejak dini anak harus diberi stimulus yang baik.
Stimulus berasal dari eksternal dan internal, paparan eksternal berasal dari stimulus pancaindra setiap hari. Jadi, apa yang dilihat dan didengar akan dikirim ke otak sebagai bahan dasar utama pembentukan perilaku siswa dengan prores pembentukan sinap di area otak yang mengatur perilaku.
Di sinilah peran penting keluarga dan sekolah dalam memberi stimulus yang baik tersebut, terutama saat golden age period (bayi sampai sekolah dasar dan menengah). Dunia pendidikan dan keluarga harus saling melengkapi agar anak mendapat lingkungan yang kondusif untuk tumbuh kembang mereka. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah sebaiknya lebih banyak memberi porsi tentang penanaman nilai luhur terlebih dahulu dibandingkan yang lain.
Baca juga Generasi Digital Harus Melakukan Detoksifikasi Teknologi
Sampai saat ini di dunia pendidikan lebih mengutamakan aspek kognisi dibandingkan pendidikan afektif dan psikomotor. Indikasi keberhasilan proses pendidikan saat ini juga hanya dinilai dengan parameter bidang kognisi seperti nilai tertinggi ujian nasional, menang lomba olimpiade, dan lainnya.
Sementara penilaian afektif dan psikomotor belum bisa dijadikan acuan utama kelulusan siswa yang diterapkan di sekolah dasar dan menengah. Padahal, di negara maju justru pendidikan dasar dan menengah adalah proses pendidikan karakter dasar siswa dengan memberi kurikulum pembelajaran yang lebih mengedepankan pembentukan karakter daripada kognisi.
Baca juga Melampaui Bayang-bayang Pendidikan
Peran orang tua juga sangat penting karena saat ini banyak pelajar menjadi ”anak yatim” karena rendahnya peran ayah ibu dalam proses pembentukan karakter mereka. Orang tua harus memberikan waktu terpentingnya (prime time) untuk mendidik dan membesarkan anaknya karena orang tua penyuplai stimulus pertama dan utama ke otak anaknya yang menjadi dasar pembentukan neurogenesis dan karakter anaknya.
Paparan lingkungan dari perkembangan teknologi juga semakin berat, perkembangan teknologi dan informasi bisa berdampak negatif bagi pembentukan karakter karena paparan kekerasan dan konten negatif lainnya begitu mudah didapat anak kita dari media maya memengaruhi proses pembentukan sel otak dan perilaku serta karakter mereka.
Korban perundungan
Pengaruh perundungan (bullying) terhadap korban ada beberapa hal. Pertama, perundungan akan menyebabkan kecemasan bagi korbannya. Ketidakseimbangan neurotransmiter serotonin yang menyebabkan kecemasan dan depresi dalam jangka panjang akan menurunkan daya tahan tubuh. Dampak lain adanya berkurangnya kecerdasan korban perundungan karena terdapat ketidakseimbangan asetil kholin di otak.
Baca juga Mewaspadai Konten Kotor Content Creator
Selain itu, perundungan akan menyebabkan gangguan tidur pada korban karena terganggunya zat kimia otak (neurotransmiter) pusat pengaturan tidur. Hal ini akan memperberat beban mental pelajar. Hal lain yang berbahaya adalah perundungan ini akan terekam kuat di memori korban terutama di hipokampus dan sistem limbik. Memori ini akan keluar dan berpotensi untuk di-copy oleh korban bilamana sudah mempunyai kekuasan atau kesempatan. Hal inilah yang menerangkan adanya efek balas dendam yang berantai dari senior ke yunior dari tahun ke tahun.
Maka, sudah saatnya semua pemangku kepentingan dan masyarakat saling membantu untuk memberi stimulus terbaik bagi pelajar baik dalam bentuk kurikulum sekolah dan lingkungan keluarga yang kondusif agar proses pembentukan karakter anak bisa sempurna dan mereka tumbuh menjadi generasi berkarakter dan berakhlak mulia dan terhindar dari perilaku tercela seperti perundungan dan kenakalan pelajar lainnya.
*Artikel ini terbit di Kompas.id edisi Minggu 15 Oktober 2023
Baca juga Menanti Pendidikan Ramah Anak