“Anak-anak Jadi Pengobat Luka”

Sepeninggal suami, suka duka kehidupan, termasuk tantangan dalam membesarkan putra-putrinya, harus dia hadapi seorang diri. Waktu itu, putra bungsunya baru berusia 2 bulan. Dia sempat terpuruk dalam kesedihan hingga tak mampu menyusui. Seiring waktu secara perlahan dia mengesampingkan kepedihan dan berusaha bangkit menyambut masa depan.
Dia menjadi pengajar di sebuah taman kanak-kanak (TK) di Denpasar untuk mendapatkan rezeki. Berinteraksi dengan anak-anak, menurutnya, bisa menjadi pelipur lara kala dia sedang sedih.
“Kadang-kadang kalau melihat murid-murid saya, itu rasanya seperti melihat anak-anak saya sendiri. Jadi, itu bisa mengobati luka saya,” ujarnya dalam sebuah kegiatan yang diselenggarakan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Surabaya pada Oktober 2016.
Leniasih merasakan dampak terorisme selain merenggut nyawa suaminya, juga memengaruhi perilaku anak-anaknya. Sebelum tragedi, putri sulungnya sudah terbiasa merasakan kehangatan kasih seorang ayah. Dia perhatikan putrinya menjadi sering murung, mengambek, dan marah tanpa sebab setelah ayahnya tiada.
Dampak yang kurang lebih sama juga terlihat dalam diri putra bungsunya. Leniasih mengingat, saat belajar di sekolah putranya tak mau bergaul dengan teman-teman sebaya. Sang putra lebih banyak menghabiskan waktu sendiri. Leniasih mengaku sempat khawatir terhadap tumbuh kembang si anak yang sering dilanda kesedihan dalam usianya yang masih sangat muda.
“Suatu waktu saya ajak dia untuk curhat begitu, kenapa kok sering bersedih, sebenarnya apa yang dia mau. Lalu dia bilang kalau dia mau seorang ayah. Dia mau ibunya cari laki-laki untuk jadi ayah bagi dia. Biar jelek juga nggak apa-apa, begitu kata dia,” ungkap Leniasih mengenang.
Secara perlahan Leniasih berusaha untuk menyadarkan sang putra bahwa ayahnya telah meninggal dunia menjadi korban tragedi Bom Bali 2002. Dia hanya bisa menghibur sebisanya ketika anaknya merajuk meminta sesuatu yang sulit dia berikan. Dan, dia tak pernah lelah untuk terus memberikan motivasi untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.
Sebagai ahli waris korban terorisme, Leniasih berharap pemerintah menunjukkan kepedulian kepada keluarganya. “Minimal jaminan kesehatan dan beasiswa untuk pendidikan anak-anak saya itu yang penting,” kata dia. Saat ini putri sulungnya sudah lulus sekolah dan sedang bersiap untuk kuliah di perguruan tinggi, sedangkan putranya masih bersekolah di bangku SMA.
Aksi Bom Bali 2002 adalah insiden terbesar dalam sejarah terorisme di Indonesia. Dua kafe di Jl. Legian, Paddy’s Pub dan Sari Club, yang setiap malam dipadati banyak wisatawan asing menjadi sasaran para teroris. Peledak ditambah dengan bahan bakar bensin membuat efek bom tak hanya merusak tetapi juga membakar apa saja yang ada di sekitar lokasi ledakan. Insiden itu menewaskan 202 orang -164 di antaranya adalah warga negara asing- dan 209 lainnya mengalami luka-luka.
Almarhum suami Leniasih sedang bekerja sebagai karyawan di Sari Club saat peristiwa terjadi. Jenazah suaminya baru bisa diidentifikasi beberapa hari setelah kejadian. Itu pun, Leniasih mendapati jenazah suaminya sudah tidak utuh lagi. Selaras dengan tradisi umat Hindu di Bali, jasad suaminya beserta para korban lainnya dimakamkan dengan sebelumnya dilakukan upacara adat. [MLM]