Sarbini, Korban Bom Kuningan 2004, Photo: Dok. AIDA 2018
Home Suara Korban Buah dari Kesabaran dan Keikhlasan
Suara Korban - 11/12/2018

Buah dari Kesabaran dan Keikhlasan

ALIANSI INDONESIA DAMAI – Semua peristiwa yang terjadi di muka bumi ini tidak lepas dari kehendak Allah Swt. Ada kalanya kenyataan hidup tidak selalu sesuai dengan yang diinginkan. Berbagai cobaan bisa terjadi kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja. Peristiwa teror bom misalnya.

Dalam sejarahnya, Indonesia telah berulang kali tertimpa musibah akibat tindakan pelaku terorisme. Ledakan bom bisa mengempaskan segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Puluhan bahkan ratusan jiwa melayang. Sebagian ada yang selamat namun harus kehilangan anggota tubuh atau menderita sakit menahun.

Sarbini, salah seorang korban selamat dari tragedi teror bom di depan Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan pada 9 September 2004, hingga saat ini harus rutin berobat karena luka yang dialaminya cukup parah. Saat kejadian, ia sedang memasang jaringan kabel di sebuah gedung tepat di seberang Kedutaan. Saat tengah bekerja mencari nafkah itulah, sebuah bom meledak, menyebabkan guncangan besar yang membuat tubuhnya terpental dan terbentur benda keras. Dia mengalami luka parah di bagian tubuh dan wajahnya. Ia harus mendapatkan puluhan jahitan di bagian kepala.

Peristiwa yang terjadi hampir satu setengah dekade silam itu tidak hanya menyisakan luka di sebagian anggota tubuhnya tetapi juga membuatnya trauma. Sarbini mengaku ketakutan untuk kembali bekerja. Bila berada di dalam gedung, ia merasa khawatir akan terjadi ledakan bom. “Saya tidak bekerja selama enam tahun. Saya takut bekerja di Jakarta lagi, saya takut ketika berada di dalam gedung. Kepala saya sering pusing, dan suka lupa,” tutur Sarbini dalam sebuah kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Bogor pekan lalu.

Sarbini, Korban Bom Kuningan 2004, Photo: Dok. AIDA 2018
Sarbini, penyintas Bom Kuningan 2004, berbicara dalam kegiatan AIDA di Bogor, Kamis (6/12/2018). Photo: Dok. AIDA 2018

Selama enam tahun Sarbini tidak bisa beraktivitas seperti sedia kala. Ia fokus terhadap pengobatan luka fisik dan psikis yang dialaminya. Karena biaya pengobatan mahal, ia menggadaikan rumah dan tanahnya. Bahkan saking mahalnya biaya yang harus ditanggung, beberapa tahun kemudian ia memutuskan untuk menjual rumahnya. “Ketika harus membayar tebusan obat, saya tidak punya uang. Obatnya sangat mahal, paling murah satu juta.  Akhirnya, saya menjadikan rumah dan tanah sebagai jaminan. Bertahun-tahun bingung membayar hutang, akhirnya rumah saya jual. Sampai sekarang pun saya harus berobat, minimal satu bulan dua kali,” ujar Sarbini.

Betapa pun beratnya musibah dalam perjalanan hidup, Sarbini tidak mudah menyerah dan berputus asa. Ia memilih bangkit dan berjuang kembali untuk menafkahi keluarganya. Enam tahun pascakejadian teror mengerikan itu, ia membuka usaha bengkel las. Meskipun sekolahnya tak pernah tamat, dia belajar autodidak untuk mengembangkan usahanya. Ia bersyukur karena masih diberikan kesempatan oleh Allah Swt. untuk bangkit dari musibah. “Setelah enam tahun itu, saya memutuskan bekerja lagi. Saya membuka usaha bengkel las. Alhamdulillah sampai sekarang tetap berjalan,” kata dia.

Dia berpesan kepada hadirin dalam kegiatan itu agar menjaga kedamaian Indonesia, sebab ancaman terorisme tak mengenal batas. Siapa pun, kapan pun, di mana pun, potensi teror terjadi selalu ada. “Pesan saya, musibah bisa datang kapan saja dan menimpa siapa saja,” kata bapak dua anak ini.

Selain itu, Sarbini mengajak hadirin agar tidak menjadi pribadi yang pendendam sebab sikap itu tidak akan pernah menyelesaikan masalah, justru bisa memperumit keadaan. Apabila seseorang menyimpan dendam atas perilaku buruk yang pernah orang lain lakukan, maka sama saja memperburuk keadaan dirinya sendiri dan menghambat terciptanya perdamaian. “Jangan pernah membalas kekerasan dengan kekerasan,” tandasnya. [AH]