01/06/2022

Menepis Dendam Mengikis Trauma (Bag. 1)

Aliansi Indonesia Damai- Andi (48 tahun) mengaku pernah sangat marah dan dendam terhadap para pelaku pengeboman di depan kantor Kedubes Australia, kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, 9 September 2004. Bukan pasal luka yang dideritanya, tapi kecewa lantaran tak bisa mengevakuasi para korban yang meminta pertolongan padanya.

“Dalam hati saya bilang, ‘Maaf pak, saya nggak bisa tolong bapak.’ Saya sendiri luka, menggendong teman saya, Pak Sarbini, yang luka parah,” ujar Andi di hadapan puluhan siswa SMAN 1 Makassar peserta kegiatan Dialog Interaktif “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” yang diselenggarakan AIDA, Selasa (24/05/2022).

Baca juga Pesan Pamungkas Korban Bom Kuningan (Bag. 1)

Pada hari kejadian, Andi bersama Sarbini mendapatkan tugas dari kantornya untuk mengerjakan instalasi kelistrikan di kawasan Lubang Buaya, Jakarta Timur. Tak lama di sana ia ditelepon oleh pihak perusahaan agar bergeser ke Plaza 89 yang letaknya berseberangan dengan kantor Kedubes Australia. “Meski cuma lulusan SMP saya sudah mengenal dengan baik bidang kelistrikan dan instalasi internet berdasarkan pengalaman,” ujarnya.

Bersama Sarbini ia tiba di tempat tujuan sekira jam 9 pagi tanpa memendam firasat apa pun. Keduanya langsung menuju ke lantai 7 untuk menjalankan kewajiban. Belum usai pekerjaan mereka, terdengar ledakan sangat keras yang mengguncang tempat mereka berada. Andi terhempas dari posisinya. Spontan ia berusaha menyelamatkan diri dengan berlari menuruni tangga. Baru beberapa langkah, ia mendengar suara Sarbini yang memanggil namanya.

Baca juga Pesan Pamungkas Korban Bom Kuningan (Bag. 2-Terakhir)

“Akhirnya saya balik lagi. Dia sudah terkapar. Lukanya parah. Saya menggendongnya dari lantai 7 sampai lobi,” ucapnya mengenang.

Saat di lobi itulah hatinya merasa sangat hancur. Di hadapannya, darah berceceran dan puluhan orang mengalami cedera parah, tapi ia tak sanggup menolong mereka. Belum lagi di trotoar jalanan depan gedung, banyak orang tergeletak.

Ia membawa Sarbini ke rumah sakit terdekat. Keduanya langsung mendapatkan pertolongan pertama. Berbeda dengan Sarbini yang pingsan saat tiba di rumah sakit, Andi sepenuhnya dalam kondisi sadar. Hal pertama yang ia pikirkan adalah soal biaya. “Ini rumah sakit besar dan mewah. Gimana saya harus bayar,” katanya.

Baca juga Berdamai dengan Trauma: Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. 1)

Dalam situasi pikiran yang kalut. Datanglah sejumlah awak jurnalis yang mewawancarainya. Ia ditanya mengenai peristiwa pengeboman, siapa saja yang selamat, dan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya kian panik. Meski demikian ia mengaku beruntung atas pemberitaan di media massa. Karena namanya terpampang di televisi sebagai salah satu korban bom, keluarga tahu keberadaannya. Malam hari usai kejadian, pihak keluarga datang membesuknya ke rumah sakit.

Namun kedatangan keluarga tak membuatnya tenang. Ia masih dilanda kekhawatiran soal pembiayaan. Walhasil, esok harinya saat wartawan datang, ia bersembunyi. Andi takut ditagih oleh pihak rumah sakit.  ”Hari ketiga di rumah sakit, saya kabur. Karena takut bayarnya gimana,” ujarnya. (bersambung)

Baca juga Berdamai dengan Trauma: Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. II)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *