FGD Mendorong Penerbitan Peraturan Pemerintah Atas UU No
Home Opini Mewujudkan Hak Kompensasi Korban Terorisme
Opini - Pilihan Redaksi - 20/02/2019

Mewujudkan Hak Kompensasi Korban Terorisme

Oleh: M. Syafiq Syeirozi, Program Manager Aliansi Indonesia Damai (AIDA)

ALIANSI INDONESIA DAMAI – Dalam diskursus terorisme, isu korban kerap kali terabaikan dan tenggelam dalam hiruk pikuk pembahasan seputar pelaku dan jaringannya, serta aksi aparat negara dalam ikhtiar pencegahan dan penindakan terorisme. Hal ini menunjukkan, perbincangan terorisme lebih berorientasi kepada pelaku (offender oriented) ketimbang korban (victim oriented). Padahal, korban merupakan subyek yang terzalimi dan paling berkepentingan atas reaksi Negara pasca kejadian. Salah satu kepentingan korban yang utama adalah adanya tanggung jawab Negara terhadap korban melalui pemberian kompensasi. Namun demikian, belum semua korban terorisme mendapatkan hak mereka yang dijamin Undang-Undang tersebut.

Kendala Kompensasi

Besarnya orientasi pada pelaku terorisme dan minimnya sensitivitas terhadap penderitaan korban sempat terlihat dalam sikap pemangku kebijakan (pemerintah). Misalnya, pada saat UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perppu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi UU, yang diajukan pemerintah ke DPR RI untuk direvisi pada Januari 2016, naskah awal usulan revisi tersebut lebih menitikberatkan pada kewenangan aparat hukum dalam pencegahan dan penindakan terorisme. Bab VI UU No. 15 Tahun 2003 yang membahas soal kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi korban terorisme tidak tersentuh usulan revisi sama sekali. Seolah-olah tak ada masalah dalam lima pasal (36-42) yang menjelaskan hak-hak korban tersebut.

FGD Mendorong Penerbitan Peraturan Pemerintah Atas UU No
Focused Group Discussion (FGD) bertajuk “Mendorong Penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) atas  UU No. 5 Tahun 2018: Mewujudkan Pemenuhan Hak-Hak Korban Terorisme” di Jakarta, Selasa, (11/12/2018)

Sementara itu, meskipun hak kompensasi korban terorisme sudah diatur secara gamblang dan detail diatur dalam pasal 36, 38, 39, 40, 41, dan 42 UU No. 15 Tahun 2003, namun implementasinya tidak pernah terlaksana hingga akhir tahun 2017, karena terkendala oleh rumitnya prosedur hukum. Kompensasi diberikan oleh negara atas dasar putusan majelis hakim yang menyidangkan perkara terorisme.

Namun, dari puluhan persidangan tindak pidana terorisme yang pernah dilaksanakan sejak 2003 hingga 2016, hanya PN Jakarta Selatan yang dalam amar putusannya pernah mencantumkan pemberian kompensasi. PN Jakarta Selatan menerbitkan amar Putusan No. 702/Pid.B/2004/PN.Jak.Sel tanggal 2 September 2004 atas nama Masrizal bin Ali Umar Alias Mas’ud alias Tohir alias Haryadi, terpidana Bom JW Marriott 2003.

Di dalamnya, majelis hakim menyatakan bahwa para korban berhak mendapatkan kompensasi; nominalnya sebesar Rp10 juta bagi korban meninggal, Rp5 juta bagi luka berat, dan Rp2,5 juta untuk korban luka ringan. Tetapi putusan tersebut tidak mencantumkan identitas para korban penerima sehingga menyulitkan pihak-pihak yang akan mengeksekusi amanat kompensasi. Walhasil, amar putusan itu tidak pernah terlaksana dan para korban Bom JW Marriott 2003 belum pernah mendapatkan hak kompensasi dari Negara.

Mulai Terlaksana

Kompensasi korban terorisme baru pertama kali terlaksana pada Desember 2017. Negara melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memberikan kompensasi kepada 7 orang korban Bom Samarinda sebagai pelaksanaan amar putusan PN Jakarta Timur yang mengadili para pelaku teror Bom Samarinda pada September 2017. Selanjutnya, Negara kembali menunaikan hak kompensasi kepada 17 korban terorisme atau ahli warisnya pada awal September 2018. Dana Rp814.000.000 diserahkan kepada 13 korban Bom Thamrin dan Rp202.000.000 untuk 3 korban Bom Kampung Melayu. Pemberian itu berdasarkan amar putusan PN Jakarta Selatan yang mengadili pelaku terorisme atas nama Oman Rochman alias Aman Abdurrahman tertanggal 22 Juni 2018. Pada saat bersamaan diberikan pula kompensasi  sebesar Rp 611.000.000,- untuk satu orang korban penyerangan Mapolda Sumatera Utara. Pemberian ini berdasarkan putusan PN Jakarta Utara yang mengadili pelaku teror Syawaludin Pakpahan tertanggal 16 Mei 2018.

Seluruh putusan kompensasi korban terorisme tersebut masih mengacu pada UU No. 15 Tahun 2003. Dengan begitu, sejak diundangkan 15 tahun silam, amanat kompensasi tersebut baru terlaksana tiga kali. Padahal kita tahu bahwa sejak tahun 2003, telah berulang kali terjadi aksi terorisme yang menimbulkan ratusan korban luka dan meninggal dunia. Dan, kita masih menyaksikan, para korban Bom Bali I, Bom Bali II, Bom Kuningan, dan Bom JW Marriott belum mendapatkan kompensasi sama sekali.

Harapan Baru

Maka sangat menggembirakan, setelah melalui pembahasan yang sangat panjang (2 tahun lebih), pada 21 Juni 2018 Presiden Joko Widodo mengesahkan UU No. 5 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perppu No. 1 tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dalam UU versi revisi ini, aturan tentang hak korban terorisme yang meliputi kompensasi, restitusi, bantuan medis, rehabilitasi psikososial dan psikologis, serta santunan bagi yang meninggal dunia lebih dikuatkan. UU ini juga mengafirmasikan bahwa korban terorisme adalah tanggung jawab Negara. Tanggung jawab itu berlaku persis sejak peristiwa teror terjadi dalam bentuk rehabilitasi medis (BAB VI Perlindungan Terhadap Korban, Pasal 35A ayat 1 dan Pasal 35 B ayat 2).

Kendati demikian, aturan-aturan tersebut, khususnya kompensasi, baru bisa efektif terimplementasikan jika Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur petunjuk teknisnya diterbitkan. Kita akan melihat dan memantau sejauh mana efektivitas PP dan pelaksanaannya nanti. Semoga para korban mendapatkan kembali hak-haknya dan terutama tentu saja kehormatan mereka.