Mengejar Waktu Pemenuhan Kompensasi Korban Lama
Sudah satu setengah tahun lebih Undang-Undang No. 5 Tahun 2018 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme resmi berlaku. Sejak disahkan Presiden pada 21 Juni 2018, kemudian resmi diundangkan sehari setelahnya, regulasi hasil revisi UU No. 15 Tahun 2003 tersebut menghembuskan angin segar kepada korban-korban aksi teror, khususnya yang peristiwanya sudah lama berlalu. Dalam Bab VIIC Ketentuan Peralihan Pasal 43L UU tersebut, dinyatakan bahwa korban tindak pidana terorisme yang kejadiannya sebelum UU ini berlaku -yang belum pernah mendapatkan kompensasi, bantuan medis, atau rehabilitasi psikososial dan psikologis- berhak mendapatkan bantuan-bantuan tersebut.
Kompensasi secara khusus dikatakan menjadi angin segar bagi korban lama, seperti korban tragedi Bom Bali 2002, Bom JW Marriott 2003, Bom Kuningan 2004, dan Bom Bali 2005. Sebab, hak tersebut belum pernah terwujud sejak belasan tahun lalu serangan teror membuat mereka terluka atau menewaskan anggota keluarga mereka. Ganti rugi tunai dari negara sangat dibutuhkan menopang kebutuhan para korban. Merujuk UU sebelumnya, No. 15 Tahun 2003, pemberian kompensasi dari negara kepada para korban terkendala syarat adanya putusan pengadilan yang menerangkan itu.
Baca juga Harapan Baru Pemenuhan Hak Korban Terorisme
Keberadaan UU No. 5 Tahun 2018 selain semakin melindungi orang-orang yang menjadi (atau berpotensi menjadi) korban aksi teror, juga mengakui adanya hak-hak korban masa lalu yang wajib diberikan. Persoalannya, implementasi pemenuhan hak-hak korban lama, termasuk kompensasi, mensyaratkan adanya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan dari UU tersebut. PP akan mengatur dengan jelas syarat dan tata cara pengajuan permohonan serta pelaksanaan kompensasi.
Pemberian kompensasi kepada korban terorisme di masa lalu kini berkejaran dengan waktu. Ayat (4) Pasal 43L UU No. 5 Tahun 2018 menyebutkan bahwa permohonan kompensasi atau bantuan lainnya bagi korban, dapat diajukan paling lama tiga tahun sejak berlakunya UU. Artinya, para korban lama hanya punya waktu sampai Juni 2021 untuk mengajukan permohonan kompensasi. Tenggat waktu ini tidak bisa disepelekan sebab implementasi kompensasi bukanlah proses yang sehari dua hari jadi. Masih panjang waktu yang mesti ditempuh setelah permohonan kompensasi diajukan. Lembaga yang mengurusi perlindungan saksi dan korban masih harus melakukan pengukuran tingkat kerugian yang diderita masing-masing korban, kemudian menentukan besaran yang layak dibayarkan oleh negara. Dalam proses ini, asas keadilan harus benar-benar dikedepankan untuk menutup peluang para korban merasa terkorbankan kedua kalinya.
Baca juga Agar Klausul UU No. 5/2018 Tak Mandul
Selain itu, kesempatan pemerintah sebagai kepanjangan tangan negara untuk memasukkan anggaran kompensasi korban lama semakin mepet. Tahun 2020 sudah bergulir, artinya anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sudah diketok oleh pemerintah dan parlemen. PP tentang pemenuhan hak-hak korban terorisme harus segera diterbitkan agar APBN 2021 mencakup anggaran untuk membayar kompensasi kepada korban terorisme di masa lalu.
Semua pihak terkait, khususnya kementerian/lembaga pemerintah sebagai kepanjangan tangan negara, mesti menyadari urgensi penerbitan PP ini. Hendaknya semua pihak memprioritaskan tenaga dan waktu demi segera terbitnya PP tersebut. Sebab, amanat UU No. 5 Tahun 2018 Pasal 46B menyebutkan, “Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.”
Baca juga Negara dan Kompensasi Korban Terorisme