Negara dan Kompensasi Korban Terorisme
Oleh Novi
Mahasiswa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Indonesia
Terorisme merupakan salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang bertujuan menciptakan ketakutan di masyarakat luas. Selain itu, terorisme dapat disebut sebagai kekerasan kolektif karena sebagian besar dilakukan oleh suatu kelompok yang berusaha memaksa masyarakat umum atau pihak berwenang untuk memenuhi tuntutan tertentu (Santoso, 2002). Sasarannya bukan hanya membuat luka dan meninggal individu ataupun kelompok, tetapi juga negara yang gagal melindungi rakyatnya.
Oleh karena itu, munculah respon negara terhadap terorisme, mulai dari langkah-langkah pencegahan hingga kontra terorisme. Namun, sedikit sekali respon negara yang fokus pada korban aksi terorisme dan keluarga mereka (Gilbert, 2017: 2). Meskipun demikian, ada juga respon dari masyarakat.
Padahal, korban membutuhkan penanganan serius mulai dari psikis, fisik, dan psiko sosial, walaupun tidak utuh. Di sini kita melihat bahwa negara dan masyarakat bisa turut andil dalam kompensasi korban serangan terorisme, baik itu korban langsung maupun korban tidak langsung.
Kewajiban Negara untuk Korban Terorisme
Ketika serangan teroris terus meningkat di seluruh dunia, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mendorong negara-negara untuk memberikan dukungan kepada para korban terorisme. PBB telah mendesak negara-negara untuk menciptakan dana khusus bagi para korban terorisme yang akan melampaui ketentuan fidusia (pengalihan hak kompensasi) lainnya, seperti asuransi jiwa atau kompensasi tenaga kerja, atau dana umum lainnya yang tersedia untuk korban kejahatan kekerasan (Gilbert, 2017: 4).
Baca juga Terorisme Pasca-UU Nomor 5 Tahun 2018
Negara memiliki kewajiban untuk menyediakan dana bagi warga negara mereka atas segala bentuk bencana kemanusiaan, yakni terorisme, karena negara tidak bisa menjaga pertahanan dan keamanan guna keselamatan rakyatnya. Kompensasi terhadap korban mulai terdengung pasca serangan Bom WTC, 11 September 2001 silam, di mana Amerika Serikat membuat The Victim Compensation Fund (VCT). VCF dirancang tidak hanya menunjukkan rasa empati kepada para korban, tetapi juga untuk menyembuhkan luka negara-bangsa. Mengenai hak-hak korban, Ben Emerson, seorang Pelapor Khusus PBB untuk HAM dan Anti Terorisme menyatakan bahwa salah satu persyaratan minimum yang harus dipenuhi terkait hak korban, yakni negara harus membangun layanan dukungan untuk membantu korban terorisme selama proses peradilan berlangsung, sampai pada putusan pengadilan maupun di tahap selanjutnya.
Dalam konteks Indonesia, untuk menyuarakan dukungannya terhadap perlindungan korban, Indonesia membentuk lembaga yang bertugas dan berwenang memberikan perlindungan dan hak kepada saksi maupun korban, yakni Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ini adalah sebuah bentuk tanggung jawab negara atas kegagalannya mempertahankan keamanan negara.
Dalam laporan Institute For Criminal Justice Reform (ICJR) 2017, disebutkan bahwa negara secara sukarela menerima kewajiban untuk menetapkan skema khusus untuk pengadaan dana kompensasi kepada para korban yang mengakibatkan kematian, luka fisik, dan atau psikologis yang serius. Undang-undang juga dibuat sebagai bentuk kepedulian negara terhadap korban dan ini disebutkan dalam UU No. 5 Tahun 2018, pasal 35-36. Selain itu, organisasi kemasyarakatan juga turut andil menjadi bagian dari perlindungan korban terorisme yang membantu pemerintah dalam mengadvokasi hak-hak korban yang belum terpenuhi.
Filantropi Masyarakat
Memberikan bantuan adalah respon umum masyarakat terhadap aksi terorisme. Memberikan bantuan juga dapat digunakan untuk menyatakan dukungan bagi para korban dan atau komunitas yang lebih luas di mana peristiwa itu terjadi, sementara itu juga merupakan bentuk pembangunan komunitas. Karena dirasa negara belum cukup memenuhi kewajibannya dan dianggap kurang efektif.
Baca juga Percepat Penerbitan PP Pemenuhan Hak Korban
Sebagai contoh, ketika serangan Marathon Boston pada tahun 2013 menewaskan tiga orang dan melukai lebih dari 200 orang, tidak ada program the Victim Compensation Fund (VCF) yang diberlakukan (Gilbert, 2017: 9). Sebaliknya, korban harus bergantung pada One Fund Boston yang dibentuk oleh pemerintah lokal dan sebagian besar dibiayai oleh sumbangan individu dan perusahaan. Upaya tersebut bisa kita gunakan sebagai bentuk filantropi. Seperti halnya VCF, dana tersebut memberikan alternatif untuk proses gugatan, dan mengharuskan korban untuk mengajukan klaim.
Dari berbagai bentuk kewajiban negara terhadap korban terorisme, komitmen negara masih kurang dalam kompensasi jangka panjang. Ini terbukti ketika memperingati 17 tahun serangan Bom Bali 1 pada tahun 2002, di mana masih banyak korban langsung maupun tidak langsung yang belum mendapatkan hak-haknya dari negara. Dan sampai saat ini masih ada kompensasi yang belum diamanatkan ke korban lama (Bali, Marriot, Kuningan). Oleh karena itu, negara diharapkan memberikan kompensasi pada ratusan korban bom tersebut.
2 Comments