Menjadi Pahlawan Keluarga

“Saya tidak mau sakit hati ataupun dendam, karena itu semua tidak akan mengembalikan suami. Saya fokus untuk menghidupi anak-anak saya”.

Aliansi Indonesia Damai- Enam belas tahun silam, Wartini tak pernah mengira suaminya akan menjadi korban dari serangan teror. Namun takdir berkata lain, sang suami meninggal dunia setelah terkena ledakan bom yang menyasar kantor Kedutaan Besar Australia.

Wartini dan suaminya hidup dalam kesederhanaan. Mereka dikarunia dua anak perempuan. Sang suami bekerja sebagai petugas keamanan di Kedubes Australia, sementara Wartini bekerja serabutan untuk membantu.

Baca juga Berzikir untuk Kesembuhan

Pagi itu, 9 September 2004, Wartini tidak merasakan firasat aneh. Namun suaminya merasa malas, was-was, dan tidak ada gairah untuk berangkat ke tempat kerja. Meskipun demikian sang suami memutuskan tetap berangkat bekerja.

Peristiwa yang tak diharapkan pun terjadi. Sekitar pukul 10.30 WIB, Wartini mendapatkan kabar dari tetangga bahwa ada serangan bom di tempat suaminya bekerja. Tak berpikir panjang, Wartini bergegas ke lokasi kejadian dengan hanya membawa uang sepuluh ribu.

“Karena tidak ada satu pun angkutan yang bisa mengakses ke lokasi, saya mencoba bertanya kepada ojek. Apakah bisa mengantar saya dengan uang sepuluh ribu ke lokasi,” ungkap Wartini mengenang. Sopir ojek itu pun setuju dan mengantarkan Wartini.

Baca juga Mengubah Duka Menjadi Berkah

Sesampainya di lokasi, Wartini panik melihat kondisi di depan kantor Kedubes Australia. Dia bertanya kepada atasan Kedubes mengenai keadaan suaminya. “Saya diberitahu bahwa bapak dibawa ke rumah sakit MMC. Saya kemudian mencari dari lantai basement sampai dengan lantai 5 dan akhirnya bertemu. Banyak korban bom dirawat di sana,” kata Wartini.

Suami Wartini tampak begitu lemas, pandangannya kosong, dan hanya diam saja. “Kak kenapa? apa yang dirasa?” tanya Wartini. Beberapa saat kemudian, suaminya mencolek dan meminta selembar kertas dan pulpen. “Telinga saya tidak bisa mendengar,” tulis suami dalam secarik kertas tersebut. Wartini kaget dan baru mengetahui kalau suaminya mengalami kerusakan di gendang telinga.

Semenjak kejadian tersebut, Wartini tidak berjualan lagi karena harus menemani suami untuk berobat jalan. Suaminya keluar masuk rumah sakit selama dua tahun karena kondisi fisiknya yang tidak baik. “Kalau bapak merasakan sakit, biasanya sampai menangis. Kadang sampai teriak, suka marah karena menahan sakit,” ungkap Wartini menggambarkan kondisi suami pada saat itu.

Baca juga Dukungan Keluarga, Sahabat dan Penyintas

Semakin lama keadaan makin memburuk. Sang suami kemudian dirujuk ke RS. Abdi Waluyo dan dirawat di ruang ICU. Sungguh malang, nyawa sang suami tak bisa ditolong lagi. Setelah kepergian suami, Wartini kerap merenung tentang nasibnya dan cara menghidupi anak-anaknya. Wartini sempat sakit hati kepada para pelaku, bahkan Wartini pernah ingin mengakhiri hidupnya.

Namun hal itu urung dilakukan lantaran ia masih ingin menghidupi kedua anaknya. Ia pun berpandangan bahwa dendam tidak akan mengembalikan nyawa suami. Wartini berusaha untuk tetap bekerja, walaupun serabutan demi menghidupi dan membiayai sekolah anak-anaknya.

Wartini merasa bersyukur karena banyak orang memberikan dukungan kepadanya. Ia pun bertemu dan saling menguatkan antarsesama korban. Sampai ia memutuskan bergabung dengan tim perdamaian AIDA untuk berbagi kisah ketangguhan bagi masyarakat luas. Saat ini Wartini masih mampu menghidupi keluarganya. Ia menggantikan adiknya berjualan lauk pauk. Wartini terus berjuang tak kenal menyerah.

Baca juga Korban Peduli Korban

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *