Berzikir untuk Kesembuhan

Aliansi Indonesia Damai- Kamis pagi 9 September 2004, Budi Santoso sedang menjalankan tugas rutin sebagai tenaga keamanan di Plaza 89 Jakarta. Di depan gedung kantor itu ia tengah memeriksa mobil-mobil yang hendak masuk. Sama sekali tak ada firasat apa pun, bahkan tak pernah menyangka hari itu akan menjadi peristiwa nahas dan pengalaman terburuk dalam hidupnya.

Sekitar pukul 10.00 WIB, tali sepatu Budi terlepas. Ia menunduk untuk memperbaikinya. Namun saat hendak mengangkat badannya, ledakan besar terjadi. Sumbernya dari mobil box di depan Kedutaan Besar Australia yang terletak sekitar 50 meter dari lokasi Budi bertugas. “Wallahu’alam, rasanya bumi jadi gelap semua disusul dengan angin yang sangat kencang. Saya merasa dorongan angin yang membuat saya pingsan,” ungkap Budi Santoso dalam salah satu kegiatan AIDA.

Baca juga Mengubah Duka Menjadi Berkah

Budi sempat terlempar karena ledakan itu. Ketika pingsan, tubuh Budi dibiarkan cukup lama berada di jalur cepat Jalan HR Rasuna Said Kuningan lantaran tak ada satu pun kendaraan yang bisa masuk. Akses ke area ledakan ditutup aparat keamanan. Budi baru tersadar ketika dirinya sudah ditangani oleh pihak medis di sebuah rumah sakit. Budi sempat mendapatkan pertolongan pertama dan mendapatkan perawatan selama kurang lebih dua jam.

Karena dokter tidak memintanya untuk menginap di Rumah Sakit, Budi merasa harus kembali ke kantor tempat ia bekerja untuk memastikan kondisi dan keadaan di sana. Budi merasa bertanggung jawab untuk mengetahui keadaan yang sesungguhnya karena informasi yang ia terima masih simpang siur. Dengan mengendarai ojek, ia memberanikan diri datang ke lokasi ledakan.

Baca juga Dukungan Keluarga, Sahabat dan Penyintas

Sesampainya di lokasi, ia melihat kaca gedung kantor telah hancur berantakan. Barulah Budi menyadari bahwa dia adalah salah satu korban ledakan bom. Selama 2-3 hari setelah kejadian, Budi merasa ada yang tidak beres dengan tubuhnya. Ia merasa sel-sel di tubuhnya menjadi lemah lunglai dan tak ada gairah. Bahkan setiap mendengar suara, telinganya pun terasa sakit.

Istri Budi berinisiatif untuk memeriksa kesehatan suaminya. Sang istri pun mendatangi Kedutaan Australia untuk meminta bantuan pengobatan. Beruntung, dengan sigap pihak Kedubes melakukan pendataan kepada Budi sehingga ayah dua anak itu bisa segera melakukan pengobatan.

Budi sempat tidak bekerja hingga tiga bulan pascaperistiwa tersebut. “Saya memberanikan diri untuk masuk meskipun masih trauma. Trauma itu tidak hilang. Saya hanya berusaha membangkitkan diri saya sendiri supaya bisa terus bekerja,” terangnya.

Baca juga Korban Peduli Korban

Dampak ledakan itu masih ia rasakan hingga kini. Gendang telinganya bocor. Tiap kali berada di tempat dingin, ia merasa telinganya menebal. Namun perlahan, Budi terus berusaha untuk bangkit meskipun luka dalam dirinya tidak mudah disembuhkan. Budi merasa hanya semangat dari dalam dirinyalah yang bisa membuatnya terus bertahan.

“Ini semua adalah musibah, saya merasa ini sudah takdir jadi saya harus ikhlas. Yang terbaik bagi saya adalah terus bersemangat,” tutur Budi dengan mantap.

Budi mengaku sempat mengalami gejolak amarah terhadap pelaku pengeboman. Ia selalu bertanya mengapa ia harus menjadi korban, terlebih lagi yang melakukan pengeboman adalah saudaranya sesama muslim. Kendati demikian, Budi terus berusaha menyembuhkan luka batinnya, terutama dengan cara berzikir. “Saya berusaha menerapi diri saya sendiri dengan banyak berzikir dan meditasi sehingga bisa menerima semuanya,” katanya memungkasi.

Baca juga Menebar Kasih Sayang Mengubur Dendam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *