10/05/2021

Meluruskan Stereotip Terorisme

Aliansi Indonesia Damai- Bekerja sama dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Komisariat Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), AIDA menggelar Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya pada akhir April lalu.

Salah seorang mahasiswi bercadar yang mengikuti kegiatan ini menuturkan pengalamannya yang tidak menyenangkan. Saat menaiki angkutan transportasi umum, ia harus diperiksa oleh polisi karena berjilbab dan menggunakan masker, sehingga terlihat seperti bercadar. Padahal kala itu ia berseragam sekolah. Hal itu menimpanya usai peristiwa Bom Surabaya Mei 2018.

Baca juga Dialog Mahasiswa UMP dengan Korban Bom Kuningan

Solahudin, peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, salah satu narasumber kegiatan ini mengakui, kekhawatiran masyarakat terhadap perempuan bercadar memang memuncak usai serangan di Kota Pahlawan itu. Hal tersebut terjadi karena beberapa pelaku Bom Surabaya mengenakan cadar saat beraksi. “Teman saya bahkan sampai keluar dari bus di tengah perjalanannya dari Surabaya ke Malang setelah menyadari ada perempuan bercadar di busnya,” katanya.

Dalam hematnya, Bom Surabaya semakin menguatkan kesan seolah-olah terorisme identik dengan Islam. Padahal faktanya ada beberapa narapidana terorisme (napiter) yang non-muslim. Ia mencontohkan penegakan hukum terhadap 14 orang Poso Sulawesi Tengah karena terbukti melakukan pembunuhan terhadap warga muslim.

Baca juga Memahami Terorisme dari Perspektif Korban

Kemunculan stereotip tersebut tidak lain karena para pelaku ketika di persidangan selalu mengaku sebagai mujahidin dan mengutip Al-Qurán atau hadis, sehingga melahirkan persepsi bahwa terorisme adalah Islam.

Stereotip tersebut semakin menguat ketika mayoritas muslim enggan melakukan klarifikasi dan cenderung menolak dengan mengatakan bahwa para teroris bukan bagian dari Islam. “Justru kita harus menjelaskan bahwa mereka, para teroris itu, adalah bagian dari umat Islam, tetapi tidak merepresentasikan Islam secara keseluruhan. Teroris ini merepresentasikan satu aliran dalam Islam. Kita tahu bahwa dalam Islam itu banyak sekali aliran. Sejak zaman sahabat pun sudah ada banyak golongan Islam,” ujarnya.

Baca juga Dialog Mahasiswa UMP dengan Mantan Ekstremis

Lebih jauh Solahudin mengungkapkan, bahwa buku-buku rujukan kelompok ekstrem berisi kutipan-kutipan dari Al-Qurán dan hadis namun diinterpretasikan secara berbeda. Karena itu sangat penting bagi para mahasiswa sebagai generasi terdidik untuk tetap menumbuhkan sikap kritis bahwa tidak melulu yang berdalil dengan Al-Qurán atau hadis itu benar.

“Bahwa betul mereka mengutip Al-Qur’an dan hadis, tapi itu hanya berupa tafsiran, interpretasi. Belum tentu benar,” ujarnya. [WTR]

Baca juga Mahasiswa Unsoed Meneladani Ketangguhan Penyintas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *