29/06/2021

Jurnalisme Kemanusiaan, Bukan Clickbait

Aliansi Indonesia Damai – Sejumlah perusahaan media massa berbasis daring menuntut redaksi agar konten yang dihasilkan sejalan dengan algoritma mesin pencarian (search engine), seperti google dan media sosial. Padahal hingga kini belum ada bukti konkret keberhasilan perusahaan media dapat bertahan dalam jangka panjang dengan hanya mengikuti alur kerja platform tersebut.

Hal ini disampaikan oleh Agus Sudibyo, anggota Dewan Pers, dalam kegiatan Short Course Daring Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme yang digelar AIDA beberapa waktu lalu. Kegiatan diikuti oleh puluhan jurnalis wilayah Sulawesi.

Baca juga Tantangan Jurnalisme Berperspektif Korban

Pernyataan Agus merespons salah satu peserta yang curhat karena merasa tertekan oleh pihak perusahaan agar menulis berita-berita yang potensial dibaca, bukan sekadar penting sebagai informasi publik.

Menurut Agus, jika berkaca pada media-media besar seperti NY Times, Washington Times, ataupun The Guardian, mereka mampu bertransformasi secara digital, namun juga membatasi diri untuk bekerjasama dengan platform seperti google, youtube, atau facebook. “Mereka ingin melepas diri dari ekosistem yang tidak bisa memisahkan good news dan bad news,” katanya.

Baca juga Perspektif Etis Meliput Terorisme

Dalam hematnya, mengikuti tren media sosial bukanlah ide yang baik. Pasalnya platform tidak bisa memisahkan antara good journalism dengan media yang hanya mengejar clickbait. “Jurnalisme clickbait hanya bisa diandalkan untuk keuntungan jangka pendek saja,” ujarnya tegas.

Dalam konteks pemberitaan terorisme, banyak media yang “mengorbankan” keluarga pelaku untuk menciptakan berita clickbait. Banyak pula media yang menggunakan video kejadian untuk menarik audiens yang justru berdampak negatif bagi masyarakat. Padahal, larangan untuk menayangkan praktik kekerasan yang menimbulkan kengerian bagi masyarakat sudah diatur dalam kode etik jurnalistik.

Baca juga Bangkit Demi Masa Depan dan Keluarga

Seorang jurnalis bahkan mengaku terkena dampak psikologis dari penayangan serupa. “Banyak media televisi yang masih menayangkan kejadian yang menampilkan ledakan-ledakan yang justru menimbulkan ketakutan pada masyarakat. Termasuk saya sendiri. Mohon maaf, saya menjadi agak takut kepada pemakai cadar pascapenayangan pelaku pengeboman yang bercadar,” ujarnya.

Dalam pengamatannya, masih banyak media yang terus melanggar, mengabaikan teguran dari Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Ia mencontohkan penyebaran foto keluarga pelaku pengeboman di Surabaya yang sebenarnya tidak boleh dilakukan. Hal ini kemudian menimbulkan efek domino, karena media lain mengikuti konten pemberitaan yang ada. “Kita sudah tegas, tapi memang media tidak peduli, dan kemudian diikuti oleh media lain,” katanya.

Baca juga Menumbuhkan Perspektif Korban pada Jurnalis Sulawesi

Di sisi lain, Agus juga menyampaikan bahwa Dewan Pers di era demokrasi memang tidak memiliki banyak kuasa untuk memberikan sanksi tegas seperti mencabut izin media ataupun meminta media memecat wartawan yang tidak benar. Otoritas Dewan Pers sebatas untuk menegakkan kode etik dan memberikan sanksi normatif.

Oleh karena itu, jurnalisme sehat bisa dicapai jika jurnalis bisa lebih memertimbangkan dampak kepada korban dan juga masyarakat. Kebebasan pers harus diletakkan sebagai sarana untuk mencapai nilai yang lebih tinggi, yaitu kemanusiaan.

“Meskipun platform memiliki banyak keuntungan, media juga tetap harus mengambil jarak. Jangan following media sosial dalam menyebarkan konten yang belum diverifikasi kebenarannya. Sehingga bukan hanya menaati kode etik, tapi juga nilai-nilai kemanusiaan dari segi korban dan masyarakat yang mengkonsumsi informasi terkait terorisme,” tuturnya memungkasi paparan. [WTR]

Baca juga Meneguhkan Jurnalisme Damai dari Celebes

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *