Mengembangkan Dakwah, Menyuburkan Damai (Bag. 1)
Oleh KH. Helmi Ali Yafie
Sekretaris Jenderal Darud Dakwah wal-Irsyad
Sesungguhnya kalau mengacu kepada akar kata Islam, maka kita bisa mengatakan bahwa keseluruhan dakwah Islamiyah adalah menyeru atau mengajak atau mendorong kepada kedamaian.
Islam berasal dari Bahasa Arab. Pangkalnya dari satu akar kata, yakni “salam”. Kata salam merupakan kata kunci dalam dalam ajaran Islam. Merupakan salah satu nama agung dari asma’ul husna. Dalam Al-Qur’an disebutkan “Allahul ladzi laa ilaha illa Huwa, al-Maliku al-Quddus al-Salamu al-Mu’minu al-Muhayminu (QS Al Hasyr: 23). Jadi kata Kata “al-Salam” merupakan salah satu nama agung Allah SWT.
Selain itu “al-Salam” juga merupakan kata kunci dalam shalat. Ia diucapkan berulang kali; seperti ketika duduk tahiyyat, dibaca: “Assalamu ‘alayka ayyuhannabiyyu’, kemudian “Assalamu ‘alayna wa’ala ibadillahi al-shalihin”. Dalam tahiyyat kata salam diulang dua kali. Lalu pada penutup shalat, ketika berpaling ke kanan dan ke kiri diucapkan “Assalamu ‘alaykum warahmatullahi wabarakatuh.”
Baca juga Keikhlasan dan Pengampunan Menyembuhkan Luka: Kisah Andi Dina Noviana, Penyintas Bom Thamrin
Dalam kehidupan bermasyarakat, ketika orang berjumpa dengan yang lain dianjurkan untuk bertukar sapa, mengucapkan salam, untuk saling mengingatkan kembali apa sebenarnya Islam itu. Ikatan hubungan antarmanusia dalam Islam adalah salam.
Salam mempunyai tiga muatan. Pertama, keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan. Ketiga makna dasar itu merupakan dambaan dan kepentingan seluruh manusia, bahkan seluruh makhluk. Kita semua berkepentingan untuk menikmati keselamatan lahiriyah, artinya tidak terancam bahaya (dalam bentuk apa pun). Semua orang berkepentingan untuk mencapai keselamatan itu. Demikian pula kedamaian dan kesejahteraan. Hal itu merupakan hakikat ajaran Islam yang terkandung dalam pengertian ‘salam’ di atas.
Apa itu Islam
Kata salam mendapat tambahan alif di depannya, menjadi islam. Kalau salam berarti keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan, maka dengan alif sebagai tambahan pada kata Islam, itu mengubah maknanya, yakni suatu upaya meraih dan mewujudkan tiga hal tersebut, yakni keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan.
Pengertian lebih luas dapat bermakna suatu upaya untuk meraih dan mewujudkan keselamatan, kedamaian, dan kesejahteraan dalam kehidupan umat manusia, baik individu maupun kolektif.
Baca juga Cermat dengan Stigma Sosial
Dengan demikian, dalam diri Islam terkait unsur upaya (ikhtiar). Kalau sekadar mengaku mengaku beragama Islam saja, itu belum memenuhi makna tersebut. Islam bisa berarti upaya meraih ketiganya. Unsur upaya atau ikhtiar menjadi sangat penting dan menonjol di sini. Maksudnya orang-orang, baik sebagai individu maupun sebagai kelompok masyarakat dituntut untuk aktif berupaya. Atau dengan kata lain setiap orang diberikan kepercayaan untuk mengupayakan sendiri, tanpa menggantungkan kepada orang lain. Rasulullah SAW bukanlah juru selamat. Tetapi beliau diberi tugas dan mandat untuk membawa petunjuk keselamatan dunia dan akhirat.
Dalam ilustrasi lain, tujuan pengutusan Rasulullah SAW bisa diumpamakan sebagai pramugara atau pramugari yang memberikan petunjuk keselamatan sebelum pesawat take off. Nabi SAW tidak menjamin umatnya selamat, tetapi memberikan petunjuk.
Sebenarnya memberikan kesempatan, mengupayakan sendiri, adalah kehormatan bagi manusia. Ini suatu kehormatan dalam arti dipercaya bahwa manusia bisa berinisiatif. Tentu saja untuk itu juga diberikan berbagai perlengkapan; akal pikiran, nafsu, dan hati nurani.
Baca juga Jihad untuk Perdamaian
Nafsu merupakan daya penggerak pada diri manusia, yang menggerakkan seluruh aktivitasnya melalui daya yang ada dalam tubuhnya itu, seperti bahan bakar pada kendaraan bermotor. Ada sebagian orang yang mendapatkan informasi kurang lengkap mengenai nafsu. Mereka memandang nafsu menjurus kepada hal-hal yang negatif. Padahal tidak demikian. Nafsu itu penting. Dalam QS as-Syams (91): 7-8, “Fa al hamaha fujuraha wa taqwaha (Maka Allah mengilhamkan kepada itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan).”
Diisyaratkan terdapat banyak jenis nafsu. Nafsu makan, nafsu bicara, lalu (pada zaman modern) ada nafsu belanja (yang berlebihan). Dalam Islam sudah diatur yang namanya belanja (infak). Tetapi sebagaimana diisyaratkan dalam ayat di atas, bahwa ada sebagian kecil dari nafsu itu dalam diri manusia yang memotivasi untuk melakukan dinamika kehidupan sehari-hari.
Islam tidak mengajarkan bagaimana mematikan atau menghilangkan nafsu, tetapi bagaimana menjinakkan atau mengendalikannya. Alat yang mengendalikan itu namanya akal pikiran. Dalam QS al-Fajr (98): 27 diungkapkan, “Al nafsu al muthama’innah (nafsu yang terkendali atau stabil).”
Baca juga Negara Madinah: Potret Ideal Pemerintahan Islam
Nafsu pada level ini dapat menjadi tenaga positif dan bermanfaat, menyelamatkan, dan membahagiakan. Maka alangkah berbahagianya orang yang dapat mengendalikan nafsunya.
Dalam QS Al-Syams: 10, “Wa qad khaba mandassaha (Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya).” Disebutkan bahwa sungguh rugi orang yang membiarkan nafsu menjadi liar dan tidak terkendali.
Ringkasnya, akal pikiran itu sangat penting dalam pengendalian dan penjinakan nafsu. Dalam Al-Qur’an banyak potongan atau akhiran ayat berbicara tentang akal pikiran: afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tatadabbarun, la’allahum yatafakkarun. Ayat-ayat itu pada dasarnya mendorong agar manusia memfungsikan akalnya agar dapat mengendalikan diri, mengendalikan nafsu yang memiliki kecenderungan liar.
Baca juga Terapi Pemaafan
Kemudian potensi ketiga yang sangat bermanfaat adalah hati nurani (qalbu). Hati nurani memiliki kesadaran tinggi yang menampung cahaya hidayah Tuhan, sarana menerima petunjuk murni dari Tuhan. Di dalam kalbu terkandung segala macam rasa halus, yang tempatnya di lubuk jiwa manusia.
Tetapi dalam hiruk pikuk kehidupan dunia, di tengah kerumitan relasi manusia, yang membuat adanya tekanan, dan mendorong ambisi-ambisi tertentu, yang saling berbelit, ditambah dengan suara deru pesawat, mobil, mesin, pabrik, dan lain-lain, sekarang ditambah lagi dengan intervensi dunia virtual dengan dukungan teknologi informasi, yang membawa dunia pada era post truth, membuat orang kesulitan mendengar suara hati nuraninya. Orang seperti tidak punya kesempatan untuk mendengarkannya. Padahal sesungguhnya memberikan petunjuk dalam kehidupan; memberi petunjuk bagaimana merespons keadaan yang tidak sesuai ajaran dan makna agama itu.
Baca juga Pemuda dan Dakwah di Media Sosial
Islam sangat menitikberatkan pada upaya pengasahan dan pembinaan kalbu. Karena kalbu ini, ketika berfungsi, mempunyai tingkat kepekaan yang tinggi. Dengannya kita dapat menangkap hikmah dan memperoleh hidayah, dapat menemukan dan melihat dengan jernih segala bentuk persoalan yang menggelayuti kita.
Kita mempunyai media yang sangat baik untuk mengasah kalbu. Hampir seluruh peribadatan sebenarnya adalah untuk mengasah kalbu. Kita menjalankan shalat lima kali sehari, di mana kita menarik diri dari realitas, melepaskan diri dari segala macam hiruk pikuk dunia, lalu kita konsentrasi menghadap Allah SWT, memohon agar diberikan petunjuk, sehingga kita bisa melihat sekitar dengan jernih, agar kita dapat mengendalikan diri atau nafsu.
Kemudian pada bulan puasa kita seperti masuk ke dalam sebuah sekolah atau tempat pendidikan, di mana kita mengalami bagaimana secara riil mengendalikan diri. Kita menahan diri tidak makan dan tidak minum, menjaga diri agar tidak melakukan dan mengucapkan kata-kata yang mencederai orang lain, dan seterusnya. Kalau akal pikiran kita bisa menangkap makna-makna atau menangkap hikmah di balik rasa lapar dan haus, maka kita akan bisa memperoleh sinar hidayah Allah SWT. (bersambung)
Baca juga Pendidikan Perdamaian (Tarbiyah Silmiyah): Memaknai Kembali Tujuan Jihad