19/10/2021

Dialog Pelajar Serang dengan Mantan Napiter

Aliansi Indonesia Damai- AIDA bekerja sama dengan Direktorat Pembinaan SMA Kemendikbud Ristek kembali menggelar Dialog Interaktif Virtual “Belajar Bersama Menjadi Generasi Tangguh” di beberapa SMA di Kota Serang, Banten. Pada Selasa (12/10/2021), kegiatan dilaksanakan di SMAN 2, SMAN 3, dan SMAN 4 Serang.

Salah satu narasumber yang hadir dalam kegiatan ini adalah Kurnia Widodo, mantan narapidana terorisme (napiter). Kurnia mengaku terpapar ekstremisme kekerasan sejak duduk di bangku SMA di Bandar Lampung. Saat kuliah di Bandung, ia semakin aktif di kelompok ekstrem. Bahkan Kurnia dan rekan-rekannya merakit bom sebagai bentuk persiapan jihad.

Baca juga Menguatkan Karakter Melalui Kisah Penyintas Bom

Karena perbuatannya, ia harus berurusan dengan hukum dan menjalani hukuman beberapa tahun di Lapas Cipinang Jakarta. Penjara lantas menjadi titik balik perubahannya menjadi pribadi yang cinta damai.

Usai sesi paparan Kurnia, salah satu peserta bertanya kepada Kurnia, “Apakah saat pertama kali terpapar, lingkungan sekitar Bapak tidak mengetahui hal tersebut?”

Baca juga Dialog Pelajar Serang dengan Penyintas Bom Kampung Melayu

Kurnia menjelaskan, karakter para anggota kelompok teror memang cenderung tertutup dan eksklusif. Seseorang yang baru masuk ke dalam kelompok teror mengalami perubahan sikap yang sangat kentara.

“Orang yang baru terpapar akan langsung tertutup, bahkan di keluarga yang biasanya dia ngobrol dengan orang tua, jadi tidak mau ngobrol lagi. Kalau ada acara keluarga yang bertentangan dengan keyakinannya, seperti arisan atau pesta, dia akan menghindarinya. Bahkan dia akan cenderung mudah memvonis lingkungan sekitarnya,” ucap Kurnia.

Baca juga Dialog Pelajar Malang dengan Mantan Napiter

Hal seperti itulah yang juga sempat dialami oleh Kurnia. Saat masih aktif di jaringan teror, ia menutup diri, bahkan dari keluarganya. Kurnia tidak memberitahukan aktivitasnya di jaringan ekstrem ke orang tua atau bahkan istrinya sendiri. “Banyak di antara kita dahulu yang benar-benar tertutup. Terus tiba-tiba dapat kabar di berita sudah ngebom aja,” kata Kurnia.

Peserta lain menanyakan tentang motivasi Kurnia keluar dari kelompok teror. Kurnia menceritakan kondisinya di Lapas saat itu. Penjara menjadi tempat Kurnia berkontemplasi dan merenungkan kembali perbuatannya di masa lalu. Pikiran kritisnya muncul. Pertemuan dengan korban terorisme semakin memantapkan langkahnya untuk bertobat.

Baca juga Dialog Pelajar Malang dengan Penyintas Bom Bali

Kurnia tidak menampik bahwa ada ancaman yang ia terima tatkala memutuskan bertobat. “Kelompok radikal ini ketika kita masuk sangat mudah. Tapi ketika keluar, banyak halangan dan ancaman. Misalnya kita dianggap murtad, karena sudah tidak sepaham dengan mereka. Kita bahkan diancam akan dibunuh. Pokoknya ancaman secara fisik dan mental dilakukan oleh mereka,” kata Kurnia mengenang.

Kurnia lantas berpesan agar para pelajar memiliki wawasan yang luas dan kritis. Ia mengkritik pola pendidikan saat ini yang masih kurang mengembangkan nalar kritis peserta didik. “Ini yang harus diubah, sehingga kita bisa bersikap kritis. Seperti yang saya alami, karena sikap kritis, saya bisa keluar dari tempurung yang sempit itu,” tutur Kurnia. [FAH]

Baca juga Kemendikbud: Generasi Muda Jangan Terseret Ekstremisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *