Urgensi Ukhuwah dan Bahaya Perpecahan: Pentingnya Adab (Bag. 2)
Selain ilmu yang mumpuni, upaya mengamalkan sikap ukhuwah harus pula dengan adab. Mayoritas ulama menyatakan bahwa adab berada di atas ilmu. Dengan adab maka akan dijauhkan dari kesombongan, yaitu merasa bahwa hanya diri atau kelompoknya yang berada di atas kebenaran. Dengan adab pula maka akan tecermin cahaya dari ilmu yang dimiliki.
Para ulama terdahulu juga mencontohkan pentingnya adab. Mereka tetap merendahkan hati dan mengambil faedah di hadapan dan dari ulama-ulama lain, bahkan yang berbeda pemahaman, dengan tidak saling merendahkan satu sama lain.
Baca juga Urgensi Ukhuwah dan Bahaya Perpecahan: Pentingnya Ilmu (Bag. 1)
Berangkat dari konsep ukhuwah di atas kita bisa belajar dari contoh lain, misalnya dari beberapa korban bom terorisme. Salah satunya Mulyono, korban Bom Kuningan di depan Kedubes Australia pada September 2004. Saat itu ia sedang mengendarai mobil untuk bertemu dengan mitra kerjanya. Saat melewati kantor Kedubes Australia di kawasan Kuningan Jakarta Selatan, tiba-tiba terjadi ledakan besar. Mulyono mengalami luka sangat serius. Rahang bawahnya hancur sehingga harus dioperasi berkali-kali.
Mulyono harus merasakan sakit yang luar biasa karena dokter harus mengambil tulang pahanya untuk dicangkok menjadi rahang baru. Operasi pertama gagal, karena konstruksi rahangnya terlalu berat. Tak ayal harus dilakukan operasi kembali untuk merekonstruksi agar lebih seimbang. Rasa sakit yang Mulyono alami saat dan setelah operasi membuatnya hampir putus asa. Bahkan ia sempat berprasangka buruk kepada Tuhan atas “ketidakadilan” yang ia terima.
Baca juga Ketangguhan Penyintas Bom Kuningan, Ram Mahdi Maulana: dari Amarah Menuju Pemaafan
Akan tetapi secara perlahan, ia menyadari bahwa semua yang terjadi pada dirinya adalah kehendak Allah. Ia pun merasa bersyukur masih diberi kesempatan hidup dan terus berupaya melewati masa-masa terpuruk. Namun kisah yang lebih menggetarkan hati adalah ketika ia harus bertemu dengan mantan pelaku bom. Melalui proses yang panjang, Mulyono memaafkan para pelaku.
Ia mengatakan bahwa pelaku sebagai sesama muslim adalah saudara. Bahwa mereka hanya keliru dalam memahami agama. Setiap orang pernah berbuat kesalahan, tapi yang penting adalah tidak mengulangi perbuatannya kembali.
Baca juga 16 Tahun Bom Bali 2005: Kesakitan Menuju Kebangkitan
Kisah Mulyono tersebut adalah wujud nyata dari adab. Ia mengakui bahwa ilmu agamanya tidak banyak, akan tetapi ia paham pokok-pokok ajaran Islam. Sebuah adab yang mementingkan persaudaraan. Berdasarkan ungkapannya bahwa “kita bersaudara”, menyembah Tuhan yang sama, dan beribadah dengan cara yang sama. Marilah sejenak kita berpikir, seorang korban bom masih menganggap para pelaku sebagai saudara. Padahal mereka yang sudah menghancurkan hidupnya dan membuatnya mengalami disabilitas.
Sebaliknya para ekstremis yang meyakini kekerasan sebagai cara absah meraih tujuan, meskipun mungkin sudah cukup lama belajar agama, paham tentang dasar dan nilai-nilai ukhuwah, tetapi karena meninggalkan adab, maka yang timbul justru perpecahan karena beranggapan orang lain salah dalam beragama. (bersambung)
Baca juga Tangis Ketangguhan Penyintas