18/10/2021

Ketika Ekstremis Mengaku Khilaf (Bagian 2- terakhir)

Aliansi Indonesia Damai- Awal mula keterlibatan Iswanto dalam jaringan ekstrem lantaran diajak oleh guru-gurunya. Pun demikian keputusannya untuk keluar dari kelompok itu karena pengaruh gurunya. Hal itu terjadi sekitar tahun 2000-an. Iswanto diminta kembali dari medan konflik Ambon dan Poso menuju kampung halamannya di Jawa Timur. Tak lama setelah itu ia pun melangsungkan akad pernikahan. Pada saat itulah hal tak terduga terjadi. Ia mendapatkan kado berupa kumpulan peluru senjata api.

Menurut Iswanto kado itu merupakan pesan tersirat sang guru bahwa walaupun dia telah menikah, namun tujuan yang sesungguhnya adalah melaksanakan jihad dalam arti perang. Guru Iswanto cukup khawatir ia akan lebih fokus pada urusan keluarga dibandingkan dengan jihad yang menjadi program kelompoknya. Namun karena merasa tidak berhak atas kado tersebut, ia mengembalikannya kepada pemberi.

Baca juga Ketika Ekstremis Mengaku Khilaf (Bag. 1)

Beberapa tahun usai peristiwa Bom Bali 2002, beberapa guru dan rekannya ditangkap aparat. Saat menyambangi salah satu gurunya di tahanan, Iswanto dinasehati agar berhenti dari kelompok ekstrem.

Di tengah kegalauannya, ia membaca ulang buku-buku tentang jihad. Ia menemukan bahwa ternyata makna jihad begitu luas, tidak hanya sebatas perang. “Itulah bagian penting dari proses titik balik saya. Saya merasa harus meninggalkan aksi-aksi kekerasan. Awal mula saya masuk jaringan ini karena diajak teman dan guru. Dan saya memutuskan meninggalkan kelompok ini juga karena guru saya,” ungkap pria yang pernah punya nama alias Isy kariman alias Zaim itu.

Baca juga Saat Napiter “Kehilangan” Anaknya

Tidak hanya itu, Iswanto juga meyakini bahwa dalam ajaran Islam menuntut ilmu adalah bagian dari jihad. Karena itu ia melanjutkan pendidikannya ke jenjang S2 di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Pada tahun 2009 pun ia dipercaya menjadi petugas haji non-kloter untuk membantu jemaat haji asal Indonesia agar bisa melaksanakan ibadah dengan baik. Ketika itu, ia mengaku ada perubahan yang sangat drastis.

Dulu sewaktu SMA, Iswanto sangat anti dan bahkan mengharamkan upacara dan penghormatan terhadap bendera merah-putih, termasuk juga menyanyikan lagu kebangsaan. Perbuatan semacam itu ia nilai sebagai bentuk kesyirikan karena menyekutukan Allah Swt. Namun ketika menjadi petugas haji yang mewakili negara Indonesia, ia justru merasa bangga membawa bendera merah-putih dan nama baik negara.

Baca juga Hati-Hati Mencari Ilmu

Malahan, ketika memakai seragam dan topi yang tertempel bendera merah-putih, ia merasa terharu dan makin mencintai negara Indonesia. “Saat saya menjadi petugas haji, saya terharu dan sangat bangga bisa menjadi bagian dari orang yang membawa nama baik negara ini. Sekarang saya memahami mencintai negara juga bagian dari iman. Tidak perlu berperang karena itu yang menyakiti sesama,” kata pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur itu.

Puncak keinsafan Iswanto terjadi saat AIDA memertemukannya dengan sejumlah korban terorisme. Ia tidak hanya mengaku sedih melihat kehidupan korban yang ternyata penuh derita dan keterpurukan. Lebih dari itu, Iswanto merasa perbuatan kelompoknya tidak pernah mencapai apa yang dicita-citakannya karena korbannya ternyata orang-orang tak bersalah dan tak tahu apa-apa. Apalagi ketika melihat korban sudah kehilangan anggota tubuhnya.

Baca juga Jalan Hijrah Mantan Ekstremis

“Di situ ada yang sudah kehilangan anggota tubuhnya. Di situ saya banyak berbincang dan pertemuan itu membuat saya semakin menyadari apa yang saya lakukan dulu adalah bentuk kesalahan,” ujarnya.

Ia bahkan merasa lemah karena para korban ternyata memaafkan kesalahannya. Kini bersama AIDA, Iswanto menyuarakan nilai-nilai perdamaian kepada masyarakat luas. Selain beraktivitas sebagai guru di sekolah, ia juga berdagang toko kelontong dan pembimbing jemaat haji dan umroh. Saat momen upacara dan pengibaran bendera rutin di sekolah, ia mengaku senang dan bangga menjadi warga negara Indonesia. “Dulu saya tidak pernah upacara bahkan membenci upacara, tapi sekarang saya lakukan itu dengan sepenuh hati, senang dan bangga,” ujarnya.

Baca juga Merajut Ukhuwah Merawat Perdamaian

Dalam setiap kegiatan bersama AIDA, Iswanto selalu menekankan bahwa agama Islam adalah agama perdamaian, dan bukan kekerasan. Kepada generasi muda ia berpesan agar pandai memilih guru agama yang mengajarkan Islam dengan nilai-nilai perdamaian. “Poin penting dalam seluruh perjalanan hidup saya adalah memahami agama sebagai ajaran perdamaian bukan permusuhan dan kekerasan. Generasi muda harus memilih guru dan teman yang mendukung perdamaian,” ucapnya berpesan. [AH]

Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 1)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *