Problem Pemenuhan Hak Korban dalam UU
ALIANSI INDONESIA DAMAI – Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, menyoroti kelemahan Undang-undang (UU) No.5 Tahun 2018 Tentang Perubahan atas UU No.15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang. Menurutnya, masih ada kekurangan dari UU Antiterorisme itu, terutama terkait hak-hak korban.
Pertama, kata Hasibullah, kelemahan pada aspek koordinasi antarlembaga yang berwenang menangani korban aksi terorisme. Selama ini, ia menilai, masih terjadi kerancuan tentang lembaga mana yang berwenang untuk menetapkan status para korban dan mengeluarkan hak-hak mereka.
“Mengacu pada UU yang sekarang, lembaga yang berhak menetapkan korban adalah penyidik. Tetapi, hingga kini data masih simpang siur di mana setiap lembaga mengeluarkan data, sehingga perlu ada penetapan satu lembaga yang berhak menetapkan korban dan mengeluarkan haknya,” terang Hasibullah di Jakarta sebagaimana dilansir Tribunnews.com, Senin (14/1/2019).

Hal kedua menurut Hasibullah terkait peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai pihak yang berwenang untuk memberikan perlindungan terhadap korban terorisme sejak awal terjadinya peristiwa teror. Menurutnya, peran LPSK sudah ditetapkan sebagai leading sector perlindungan korban. Meskipun demikian, yang terjadi di lapangan, peran itu di awal justru ditangani pihak kepolisian. “Kami menilai LPSK perlu digandeng sejak awal dalam hal pemenuhan hak korban,” imbuhnya.
Ketiga, terkait dengan penetapan radius wilayah terdampak ledakan bom untuk pemenuhan hak korban yang tepat sasaran. “Jangan sampai orang yang jauh sekali dari lokasi kemudian tak ada bukti yang mendukung mendapat bantuan dari pemerintah, karena selama ini penentuan pemberian bantuan hanya didasarkan pada klaim fisik serta dokumen dari rumah sakit yang menurut kami tak cukup kuat,” kata dia.
Hasibullah juga menekankan agar Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur teknis pelaksaaan UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme segera diterbitkan, terutama soal pemenuhan hak-hak korban. Sebagaimana diketahui hingga hari ini ratusan korban ledakan bom di berbagai daerah masih belum tersentuh uluran tangan pemerintah. Menurut Hasibullah, korban-korban dari serangan bom di Bali pada 2002 dan 2005, kemudian bom di Jl. HR Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan pada 2004, dan bom di Hotel JW Marriott Jakarta pada 2003, belum mendapatkan kompensasi sebagai ganti rugi dari Negara.
“Keterdesakan PP untuk segera dikeluarkan adalah bahwa pelaksanaan pendataan administrasi korban yang belum mendapat kompensasi akan sudah selesai dilaksanakan tiga tahun sejak UU disahkan pada 2018. Namun secara norma, baru berjalan jika PP diterbitkan sehingga mendesak untuk segera diterbitkan,” katanya.
Terkait pemberian kompensasi kepada para korban terorisme di masa lalu, Hasibullah mendesak agar penentuan korban dilakukan berdasarkan penetapan pengadilan, bukan putusan pengadilan sebab persidangan pelaku teror lama sudah tidak dimungkinkan lagi. “Dan, kami mendesak penetapan korban berdasarkan pada penetapan pengadilan, bukan putusan pengadilan,” pungkasnya. [KAN]