Penyintas Aksi Teror di Surakarta Dapat Pendampingan LPSK
ALIANSI INDONESIA DAMAI– Dua penyintas aksi teror di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS) Surakarta mendapat pendampingan dan bantuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Hal ini disampaikan wakil ketua LPSK, Maneger Nasution saat melakukan kunjungan ke Kantor Walikota Surakarta, Kamis (28/2/2019), dilansir laman lpsk.go.id.
LPSK memberikan program pendampingan rehabilitasi psikososial bagi korban terdampak dari aksi tindak pidana terorisme itu dengan menggandeng Pemerintah Kota Surakarta. “Pertemuan ini merupakan kelanjutan dari pertemuan sebelumnya pada November 2018,” ujar Manager Nasution.

Ia menjelaskan, jumlah korban yang mendapatkan layanan rehabilitasi psikososial sebanyak dua orang dengan dua kebutuhan, yakni jaminan kesehatan dan bantuan modal usaha. “Tak menutup kemungkinan kita merehabilitasi korban-korban terorisme lainnya,” terangnya.
Secara terpisah, Wakil Walikota Surakarta, Achmad Purnomo menyatakan kesiapan pihaknya dalam melindungi dan menjaga warganya dari bahaya terorisme. Selain itu, Pemkot juga melindungi korban yang berstatus sebagai warga Solo.
“Pada prinsipnya kami sangat peduli terhadap warga dan mendukung untuk membantu mereka yang menjadi korban tindak pidana, khususnya terorisme. Pemerintah Kota Surakarta menyiapkan dukungan terhadap korban berupa jaminan kesehatan dan modal usaha,” jelasnya.
Terkait kebutuhan tersebut, para korban yang membutuhkan modal dapat mempersiapkan proposal pengajuan modal usaha untuk diajukan ke Pemkot Surakarta. Nantinya mereka akan diberi pendampingan sesuai dengan jenis usaha yang digeluti.
Sementara itu, Direktur Aliansi Indonesia Damai (AIDA), Hasibullah Satrawi, secara terpisah menyebutkan bahwa masih banyak korban aksi teror yang tidak tersentuh oleh pemerintah. Pada acara Peringatan Tiga Tahun Aksi Teror Bom Thamrin di Jakarta awal Januari lalu, Hasibullah menyatakan bahwa masih banyak korban terorisme yang belum mendapatkan hak-haknya. Terkait kompensasi, para korban terorisme di masa lalu seperti Bom Bali 2002 dan 2005, Bom JW Marriott 2003, dan Bom Kuningan 2004, sama sekali belum menerimanya.
“Kompensasi bagi korban lama itu menjadi kebutuhan yang sangat besar karena melihat dari jumlah korban. Kebanyakan yang belum mendapatkan kompensasi justru dari korban lama. Sampai hari ini kan kurang lebih dari korban Thamrin 13 orang yang mendapatkan kompensasi, dari korban bom Kampung Melayu 3 orang, Medan 1 orang, Samarinda juga demikian, mungkin hanya 20-an orang yang dapat kompensasi. Sementara ratusan korban lainnya itu belum dapat kompensasi,” katanya.
Ia menambahkan, salah satu kendala dari pemberian kompensasi kepada korban lama karena belum adanya Peraturan Pemerintah (PP) sebagai aturan turunan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018. Padahal, kebutuhan akan PP cukup mendesak karena mencakup implementasi dari hak-hak para korban. “PP ini yang memberikan rincian syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh para korban, dan PP itu yang saat ini ditunggu-tunggu oleh korban,” pungkas Hasibullah. [KAN]