Supriyo Laksono, Bangkit Berkat Kehadiran Keluarga
Aliansi Indonesia Damai – Peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002 silam menjadi sejarah kelam bagi bangsa Indonesia. Ledakan bom dahsyat itu telah menewaskan 202 orang dan 300 orang lainnya mengalami luka-luka. Di antara korban luka dan meninggal dunia itu adalah istri dari R. Supriyo Laksono atau akrab dipanggil Sony. Bukan hanya kehilangan istri, Sony pun mengalami luka di beberapa bagian tubuhnya.
Sony tentu tidak bisa melupakan kejadian pahit malam itu. Ia ingat betul, waktu itu pukul 11.45, ia baru saja menyelesaikan pekerjaan di sebuah hotel di Denpasar, Bali. Tiba-tiba, tanpa ia duga lampu mati disertai suara ledakan yang sangat kencang. Sontak Sony berlari menyelamatkan diri meskipun dalam keadaan gelap. Ia meraba-raba, bahkan tidak sadar bagian dari kepalanya terkena serpihan atap asbes yang berjatuhan akibat ledakan itu.
Baca juga Eka Laksmi, Ketangguhan Istri Korban Terorisme
“Saya terluka di bagian mata, kepala saya pun terkena asbes. Kaki saya di bagian betis bawah juga terkena besi panas ketika berlari,” ungkap Sony di sebuah acara yang diselenggarakan oleh AIDA. Meskipun demikian, sebagai Supervisor Senior di Hotel tersebut, Sony tetap sigap menyalakan genset listrik dan berusaha melakukan evakuasi terhadap beberapa tamu yang masih ada di dalam hotel.
Kehilangan Istri
Setelah proses evakuasi selesai, Sony baru ingat bahwa sang istri belum juga datang menjemputnya pulang. Ia berusaha menghubungi istri tapi tidak ada jawaban. Dia menelepon ke rumah dan kantornya, namun hasilnya pun nihil. Sony mulai gelisah dan cemas. Kemudian dia berpikir untuk mencari langsung keberadaan sang istri. Dalam keadaan kacau dan penuh kemacetan di sepanjang jalan, Sony diantar oleh salah seorang temannya menuju Rumah Sakit Sanglah. Sesampainya di RS tersebut, dia melihat banyak sekali jasad bergelimpangan penuh darah. Di sana dia tidak menemukan istrinya, bahkan ia berkeliling ke seluruh rumah sakit di Kota Denpasar, namun tak ada hasil. Sony terus mencari hingga keesokan harinya.
Baca juga Memaafkan untuk Ketenangan Hati
“Saya tidak mau pulang sebelum saya berhasil menemukan istri saya karena saya takut tidak bisa menjawab ketika ditanya anak-anak di mana keberadaan ibunya,” ungkap Sony.
Sony baru berani pulang ketika salah satu keluarga menghubunginya dan memberitahu bahwa anak-anak telah mengetahui bahwa ibunya telah tiada. Sony pun pulang. Ia merasa beruntung karena dua anaknya yang saat itu masih kecil justru menghiburnya. Meskipun demikian, Sony tetap merasa musibah yang dialaminya begitu berat. Ia harus kehilangan istri sekaligus ibu dari anak-anaknya. Ia harus membesarkan anak-anaknya tanpa seorang ibu. “Saya bisa menjadi seorang Bapak, tapi untuk menjadi seorang Ibu yang penuh kelembutan tentu saya tidak bisa. Itu sangat berat,” tutur Sony mengingat masa-masa kelam tersebut.
Dukungan Keluarga
Waktu demi waktu berlalu, tiga bulan setelah peristiwa bom dahsyat yang memporak-porandakan sebagian kehidupan masyarakat di Pulau Dewata tersebut, Sony menemukan titik terang perihal istrinya. Jenazah sang istri berhasil ditemukan hingga kemudian dimakamkan. Bagi Sony, peristiwa tersebut sungguh menggoncang jiwa dan kehidupannya. Dia mengaku mengalami trauma dan kehilangan yang luar biasa. Selama 3,5 tahun Sony tidak pernah mau makan sate karena mengingatkan pada jasad-jasad yang gosong terbakar yang ia lihat saat mencari jenazah istri.
Baca juga Mewujudkan Harapan Mendiang Suami
Untuk mengatasi trauma dan rasa kehilangan yang begitu dalam, Sony mencoba mengikuti beberapa kali konseling dengan lembaga konseling Australia yang memang khusus menangani korban Bom Bali. Sony juga belajar melupakan kesedihan dengan menjalani hobinya, yakni memancing bersama anak-anaknya. Sony juga banyak menghabiskan waktunya dengan keluarga.
“Ketika istri saya meninggal, saya merasa ada yang hilang dari diri saya, kehadiran keluarga mampu membuat saya bangkit. Saya mencurahkan seluruh kasih sayang dan perhatian pada mereka. Saya tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya,” uangkap Sony.
Setelah merasa berdamai dengan dirinya sendiri atas kehilangan dan sakit yang ia rasakan, Sony bersama korban Bom Bali yang lain, membentuk Yayasan Isana Dewata yang didirikan untuk meningkatkan solidaritas dan tali kekeluargaan para korban bom Bali. Di sana dirinya merasa bertemu dengan keluarga baru dan bisa saling menguatkan.
Baca juga Nyoman Rencini, Menjadi Ibu Sekaligus Bapak
Kini, Sony bisa berdiri tegak dan bergabung bersama AIDA untuk menyebarkan perdamaian. Bahkan Sony telah memaafkan mantan pelaku dan bergandengan tangan dengan mereka untuk mewujudkan Indonesia yang lebih damai.
“Setelah saya bisa memaafkan diri saya sendiri, berdamai dengan diri saya sendiri, saya mampu memaafkan dan berdamai dengan pelaku. Kekerasan bukanlah jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah,” pungkas Sony menutup kisahnya.
3 Comments