Home Suara Korban Bangkit Demi Masa Depan Anak
Suara Korban - 26/12/2019

Bangkit Demi Masa Depan Anak

Aliansi Indonesia Damai- Wartini, itulah namanya. Seorang ibu rumah tangga yang dikaruniai tiga orang anak. Sosoknya sederhana, sehari-hari ia biasa berjualan makanan ringan di rumahnya. Sementara suaminya, Syahromi, bekerja sebagai petugas keamanan di Kedutaan Besar Australia, Kuningan Jakarta. Meski tak bergelimang harta, namun Wartini selalu bahagia menjalani hidup bersama suami dan anak-anaknya.  

Namun demikian, misteri hidup memang hanya Allah Swt yang Maha Tahu. Tahun 2004 menjadi tahun yang kelam bagi keluarga Wartini. Ia tak pernah menyangka bila suaminya menjadi salah satu korban bom yang meledak di depan Kedubes Australia. 

Wartini ingat betul, hari itu 9 September 2004, sebelum berangkat bekerja, suaminya memeluk anak kedua mereka seraya berkata, “Tin, hari ini kok aku seperti malas kerja ya, cemas, was-was, ada apa ya?” Wartini hanya menjawab, “tidak tahu” karena sama sekali tak menyangka peristiwa nahas itu akan menimpa suaminya.

Baca juga Kunci Kebangkitan Sarbini, Korban Terorisme

Karena tuntutan pekerjaan, Syahromi tetap berangkat bekerja, sedangkan Wartini mulai berjualan. Tepat pukul 10.30 WIB, tetangganya mengabarkan peristiwa ledakan bom di depan Kedubes Australia, di tempat suaminya bekerja. Kabar itu bagai petir di siang bolong. Tanpa berpikir panjang, Wartini segera berlari mencari angkot, pergi ke lokasi kejadian untuk mencari tahu kabar suaminya. Dagangannya ditinggalkan begitu saja, sedangkan di kantongnya hanya ada uang 10 ribu rupiah.

Wartini segera berangkat dari rumahnya yang berlokasi di Cempaka Putih. Sayangnya jalanan menuju tempat kejadian ditutup, sehingga ia hanya bisa melanjutkan perjalanan dengan ojek. Tetapi uang 10 ribu di kantongnya tentu tak akan cukup untuk ongkos menuju Kuningan.

“Bang, saya mau ke tempat kejadian bom. Tapi saya ga punya uang banyak, cuma 10 ribu,” ucap Wartini saat membagi kisahnya di acara Short Course Jurnalisme (3/7) lalu. Matanya berkaca-kaca mengingat peristiwa 15 tahun silam itu.

Namun sang ojek tak keberatan, ia bersedia mengantar Wartini meski hanya dibayar 10 ribu rupiah. Sesampainya di tempat kejadian, Wartini bertemu dengan bos suaminya. Ia lalu mengabarkan bahwa suaminya sudah dibawa ke Rumah Sakit Metropolitan Medical Center (MMC).

Wartini lalu berpamitan dan segera menuju rumah sakit. Ia menyusuri ruangan-ruangan rumah sakit, dari basement hingga lantai 5. Ia bertemu dengan suaminya di lantai 5. Ada rasa bahagia merasuk dalam hatinya karena suaminya selamat, meski saat itu sang suami begitu lemas dan tak berdaya.

Baca juga Jadi Korban Terorisme, Nanda Olivia Berdamai dengan Diri Sendiri

“Gimana keadaannya?” tanya Wartini. Suaminya hanya diam. Ia pegang suaminya, lalu mengulangi pertanyaannya. Namun suaminya masih saja diam dan tak merespon pertanyaannya. Wartini mulai khawatir. Tak lama kemudian, suaminya mencoleknya, meminta diambilkan pulpen dan buku. Di buku itu, Syahromi menulis bahwa ia tak bisa mendengar, ia tak tahu mengapa.

Setelah diperiksa, dokter mengabarkan bahwa gendang telinga Syahromi pecah dan tak bisa diperbaiki lagi. Syahromi akhirnya dirawat selama seminggu. Meskipun sudah keluar dari rumah sakit, Syahromi tak bisa sembuh total, telinganya kerapkali sakit, kepalanya seringkali pusing. Namun ia tak menyerah, selama dua tahun Syahromi berobat jalan. 

Pada awal November 2006, sakit yang diderita Syahromi kambuh lagi, ia pun dibawa ke rumah sakit dan dirawat selama dua minggu. Syahromi akhirnya menghembuskan nafas terakhir tepat pada 19 November 2006.

Saat itu Wartini amat terpukul, apalagi ia sedang mengandung anak ketiga, tepat enam bulan. Perutnya semakin membesar, sedangkan dua anaknya masih kecil. Tak pernah terbayangkan olehnya menjalani hidup tanpa kekasih hatinya. Kelak sang anak bungsu terlahir dalam keadaan yatim. 

Baca juga Ketabahan Ramdhani Di Balik Musibah Bom Kuningan

Ibu yang sedang hamil tua ini bukan hanya sedih kehilangan suaminya, tapi juga harus siap menggantikan posisi suami sebagai tulang punggung keluarga. Bukankah kebanyakan ibu hamil selalu ingin diperhatikan dan dimanja oleh suaminya? Namun Wartini justru harus berjuang seorang diri. 

Hidup Wartini berubah drastis. Ia bekerja serabutan demi mencukupi kebutuhannya dan anak-anaknya, dari mulai menjadi karyawan laundry hingga membantu tetangga berjualan. Ia tak peduli meski hanya digaji 20 ribu sehari. Yang terpenting baginya adalah memberikan nafkah halal untuk anak-anaknya.

Wartini hampir saja menyerah dan putus asa. Namun setiap kali rasa itu muncul, ia ingat kembali anak-anaknya. Baginya, anak-anaknya adalah kekuatan terbesar. “Saya harus kuat, kalau saya lemah bagaimana nasib anak-anak saya ke depannya. Saya berjuang terus untuk anak-anak saya. Kalau saya ga berjuang, ga kuat, saya ga tahu gimana anak-anak saya nanti,” ucap Wartini tegar.

Wartini memang single parent, namun ia tak menyerah begitu saja. Ia mengutamakan pendidikan anak-anaknya. Saat ini anak kedua Wartini sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Sedangkan anak bungsunya masih duduk di bangku SMP. 

Perjalanan hidup Wartini mencerminkan ketegaran dan kekuatan luar biasa dari seorang ibu yang berjuang demi sang buah hati. Bukti cinta yang begitu besar kepada sang suami.

Baca juga Kisah Penyintas Mengikis Kebencian

2 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *