Home Suara Korban Menjadi Penggerak Penyintas
Suara Korban - 02/01/2020

Menjadi Penggerak Penyintas

Kamis Pagi, 9 September 2004, Sucipto Hari Wibowo dengan santai mengendarai motornya di  jalur lambat Jalan HR Rasuna Said seberang Kedutaan Besar Australia, Jakarta. Ia hendak ke kawasan Jakarta Pusat guna melaksanakan tugas dari kantornya bekerja untuk mengambil berkas dari kantor lain. Ledakan  sangat keras tiba-tiba terjadi dari arah kantor Kedubes Australia. Sucipto jatuh terpental bersama motor yang dikendarainya.

Sucipto melihat kepulan asap putih yang membumbung, daun-daun berjatuhan, sejumlah gedung rusak parah. Ia terduduk di trotoar sambil menunggu kesadarannya pulih sepenuhnya dan kondisi membaik. Ketika kepulan asap mulai memudar, Sucipto sempat melihat orang berlumuran darah turun dari bus kopaja. Sucipto baru menyadari bahwa dia baru saja menjadi salah satu korban ledakan bom.

Baca juga Bangkit Berkat Dorongan Keluarga dan Kolega

Meskipun masih merasa shock, Sucipto tetap merasa bertanggung jawab untuk menunaikan tugasnya dari kantor. Ia takut akan dipecat jika tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. Sucipto segera bangkit dan mencoba menyalakan motornya. Ia melanjutkan perjalanannya untuk mengambil dokumen. Setelah mengambil dokumen, ia kembali ke kantornya. Di kantor, Sucipto menceritakan kejadian yang telah menimpanya. Ia juga memohon izin untuk beristirahat karena merasakan sakit pada bagian kepala.

Hingga jam pulang kantor tiba, Sucipto masih merasakan sakit. Ia harus diantarkan pulang oleh temannya. Keluarganya panik dengan keadaan Sucipto. Keesokan harinya Sucipto masih merasakan sakit namun dia memaksakan diri untuk tetap bekerja. Baru satu jam berada di kantor, ia diantar pulang ke rumah. Sucipto mengeluh telinganya seolah berisi air yang banyak.

Baca juga Bangkit Demi Masa Depan Anak

Sucipto akhirnya dibawa ke Rumah Sakit. Dokter mengatakan gendang telinga Sucipto mengalami pembengkakan. Bukan hanya itu, jaringan saraf Sucipto juga mengalami kerusakan. Akibatnya, Sucipto harus menjalani perawatan di rumah sakit selama seminggu dan rawat jalan selama setahun. Rasa sakit yang dialami oleh Sucipto tidak berhenti sampai di situ, hingga sekarang, setelah 15 tahun peristiwa bom itu terlewat ia masih sering merasakan sakit di bagian kepalanya.

Dari kiri ke kanan: Choirul Ikhwan (Mantan Pelaku Terorisme), Dwi Siti Rhomdoni (korban Bom Thamrin 2016), Ni Luh Erniati (korban Bom Bali 2002) , dan Sucipto Hari Wibowo (korban Bom Kuningan 2004).

Silaturrahmi Itu Menyembuhkan

Bagi Sucipto, menjalani kesakitan berpuluh-puluh tahun bukanlah hal yang mudah. Perlahan, ia memilih untuk menerima rasa sakitnya sebagai suatu takdir yang harus dijalani. Meskipun kadang tebersit ketakutan penyakit yang ia derita bisa merenggut jiwanya, Sucipto menjalani hari tanpa rasa putus asa. Sucipto banyak menjalin silaturahmi dengan  korban-korban bom lain untuk saling berbagi kisah. Dari kisah-kisah tersebut Sucipto banyak mendapatkan inspirasi untuk bangkit. Ia melihat banyak korban yang lebih menderita darinya.

Baca juga Kunci Kebangkitan Sarbini, Korban Terorisme

Kini Sucipto Hari Wibowo menjabat sebagai ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), sebuah lembaga yang menaungi korban-korban aksi terorisme di Indonesia. Sucipto aktif  hadir pada forum-forum silaturahmi yang digelar oleh YPI. Ia hadir bukan hanya untuk mengambil inspirasi tapi juga untuk memberikan inspirasi. Sucipto memiliki cita-cita agar korban bisa bertransformasi menjadi penyintas yang tangguh.

“Saya berharap para korban tidak merasa sendirian. Kebersamaan harus selalu terjalin. Kita harus bisa melampaui penderitaan yang dialami dengan ikhlas dan selalu optimis menatap ke depan,” ungkapnya saat mengikuti kegiatan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) beberapa waktu lalu. 

Sucipto tidak lelah memberikan semangat kepada korban yang lain. Bukan hanya itu, bersama teman-teman YPI dan AIDA, Sucipto aktif menyuarakan perdamaian dan  memerjuangkan hak-hak korban yang belum terpenuhi. Sucipto memiliki keinginan agar sesama penyintas mampu berpegangan tangan dan saling menopang satu sama lain untuk menguatkan. Selain bersilaturahmi dengan korban, Sucipto juga menjalin silaturahmi dengan mantan pelaku. Sucipto memilih untuk memaafkan dan menjalin persaudaraan. “Kita harus berdamai dengan diri sendiri sehingga bisa memaafkan dan menerima keadaan,” ungkapnya.

Baca juga Jadi Korban Terorisme, Nanda Olivia Berdamai dengan Diri Sendiri

3 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *