Jihad dan Budaya Dialog
Aksi terorisme bertujuan menyebarkan ketakutan dan kekacauan bagi kehidupan masyarakat. Kelompok teroris kerapkali menyebut aksinya sebagai jihad untuk menegakkan kemuliaan agama. Sampai di sini, idiom jihad menjadi “barang murah” dan mudah dikatakan. Ironisnya, perjuangan atas nama jihad kerap diobralkan sebagai bahan indoktrinasi yang begitu mengakar dan mendarah daging.
Term jihad berarti bersungguh-sungguh untuk melawan kezaliman dan tirani. Namun imajinasi siapa tirani dan siapa yang menjadi korbannya kerap menjadi kabur dan buram. Dari sinilah, proses identifikasi menjadi penting bagi kelompok ini. Menurut pandangan kelompok teroris, “Jika bukan kelompok kita, maka mereka adalah musuh”. Dalam pandangan Amartya Sen, adagium ini menjadi bentuk over-identifikasi.
Faktor identitas merupakan salah satu penyebab kekerasan terorisme. Amartya Sen berpandangan, salah satu faktor kekerasan, baik dilakukan oleh individu maupun kelompok, biasanya dilatarbelakangi oleh cara pandang yang monolitik. Identitas tunggal, seperti semua orang yang berbeda dianggap “kafir”, “murtad”, sehingga halal darahnya adalah salah satu bentuk legitimasi kekerasan. Imajinasi tentang “musuh” bersama dan dehumanisasi kelompok lain menjadi pemantik kekerasan di ruang publik.
Baca juga Menjaga Kerukunan Bersama
Penulis pernah bertemu dengan sejumlah mantan pelaku kekerasan yang mengatasnamakan agama, yaitu mereka yang bertahun-tahun terlibat dalam jaringan ekstremisme dan terorisme. Menurut pengakuan sebagian pelaku, mereka tidak menyadari bahwa aksi (amaliyah) yang dilakukannya telah menyebabkan korban sipil berjatuhan, baik menimpa anak-anak, perempuan bahkan orang tua. Aksi semacam ini telah keluar dari doktrin jihad dalam Islam.
Dalam Islam, peperangan memang dibolehkan, bahkan dalam situasi tertentu hukumnya fardhu kifayah (kewajiban menjadi gugur ketika ada yang memperjuangkan). Akan tetapi, terdapat ketentuan khusus yang tidak boleh dilanggar, antara lain larangan melibatkan anak kecil, perempuan, dan orang tua lanjut usia. Dalam hemat penulis, jihad bil qital (mengangkat senjata) bersifat defensif sehingga diperbolehkan hanya dalam situasi di mana wilayah yang kita tinggali diinvasi oleh negara/bangsa lain secara fisik.
Baca juga Berdamai dengan Kenyataan Mendamaikan Keadaan
Dalam kelompok teroris, konsep jihad seringkali disalahgunakan sebagai legitimasi untuk melakukan kekerasan terhadap non-muslim, atau mereka yang dianggap “sesat” atau “kafir. Dalam bukunya, Islam Between War and Peace, KH. Ali Mustofa Yaqub menyatakan bahwa memang ada ayat-ayat al-Quran yang berbicara tentang perang, namun ayat yang mengajak kepada berbuat baik kepada semua orang justru lebih banyak. Ayat-ayat perang tidak bisa digunakan sebagai legitimasi untuk melakukan kekerasan secara serampangan, terlebih untuk melakukan aksi terorisme. Dari sini Islam jelas menunjukkan diri sebagai agama yang mengajak kepada perdamaian. Mencegah dan mengantisipasi seseorang untuk berbuat kerusakan dan kemudaratan merupakan salah satu inti ajaran Islam.
Pembelajaran penting dari kisah mantan pelaku yang penulis temui di atas adalah mereka tergerak untuk melakukan kekerasan salah satunya didorong faktor solidaritas atas apa yang menimpa umat Islam di belahan dunia lainnya. Solidaritas kemanusiaan ini lantas berkelit kelindan dengan doktrin jihad bilqital yang merasuk dalam. Namun sekali lagi tidak ada kekerasan yang bisa menyelesaikan masalah. Sebaliknya malah memicu spiral kekerasan. Untuk menetralisasikan imajinasi tentang “musuh” maka dialog adalah keniscayaan.
Membudayakan Dialog
Aksi terorisme selama ini terbukti memberikan dampak negatif yang nyata terhadap pelbagai elemen masyarakat, baik masyarakat sipil, hingga aparat kepolisian karena yang terakhir ini dianggap anshor thogut. Namun berdasarkan cerita beberapa mantan pelaku, ternyata mereka yang diimajinasikan sebagai musuh justru sering memberikan bantuan dan sesekali meminta nasihat keagamaan kepada mereka.
Aksi kekerasan terorisme juga menimbulkan korban yang menderita. Kisah Hairil Islami dan Dwi Siti Romdhoni, dua orang penyintas Bom Thamrin 2016 cukuplah menjadi pembelajaran bersama. Keduanya berjuang melawan luka fisik dan trauma. Dampak kekerasan itu masih bisa dirasakan kapan saja. Meski demikian, dengan kebesaran hati, keduanya memilih memaafkan pelaku, bahkan menjadi duta perdamaian bagi masyarakat Indonesia.
Baca juga Potret Peacemaker untuk Indonesia Damai
Dari Hairil dan Dwiki kita belajar tentang makna pemaafan dan pemberian maaf. Melalui dialog dari hati ke hati, dua belah pihak yang secara logika tidak mungkin bisa bertemu, namun faktanya bisa bersama-sama menjadi duta perdamaian. Dari aspek kesediaan korban memberikan maaf, sisi kemanusiaan mantan pelaku menjadi tersentuh. Itu artinya, korban justru menjadi pihak yang berkontribusi menyadarkan kesalahan pelaku.
Berkat dialog dan kesediaan korban bertemu dengan pelakunya, kesadaran akan makna perdamaian itu pun lahir. Kedua belah pihak saling terbuka dan saling mempercayai satu sama lain. Kisah itu menjadi pembelajaran bersama bahwa dialog adalah kunci untuk memperkuat rasa persaudaraan dan membuka ruang bersama untuk saling memahami. Semoga perdamaian selalu tersebar dan tumbuh subur di seluruh penjuru bumi ini.
Baca juga Sabar: Kunci Menghadapi Musibah