Dakwah Islamiyah untuk Perdamaian
Oleh Fahmi Suhudi
Alumni PP Darussunnah Ciputat
Dakwah merupakan salah satu fondasi dalam Islam. Dakwah yang dalam bahasa Arab da’a-yad’u-da’watan berarti menyeru, memanggil, dan mengajak. Dalam makna yang lebih lengkap, dakwah berarti usaha untuk mengubah keadaan negatif menjadi keadaan yang positif yang dibangun atas prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar. Artinya dakwah mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan. Oleh karenanya, Abdul Karim Zaidan (2016) dalam Ushul Dakwah menegaskan bahwa dakwah merupakan kegiatan yang mengajak dan menyeru manusia untuk memeroleh jalan hidup yang baik.
Prinsip dakwah amar makruf dan nahi munkar dilandasi atas ajakan kepada kebaikan dan mencegah kepada yang bersifat kemudaratan. Para ulama klasik menyatakan unsur dakwah ini harus dilakukan dengan metode/cara yang tepat bukan dengan cara kekerasan atau memaksa. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Taimiyah (2010), bahwa amru bil ma’ruf bil ma’ruf, wan nahyu ‘anil munkar bi ghoiril munkar, (mengajak kepada kebaikan harus dilakukan dengan cara yang baik, sementara mencegah dari perbuatan yang merusak harus dilajukan dengan tidak menciptakan kerusakan yang baru).
Baca juga Asep Wahyudi: Potret Ketangguhan Korban Bom Kuningan 2004
Dakwah juga dilakukan dengan cara yang lembut dengan penuh hikmah sebagaimana firman Allah Swt dalam Q.S. An Nahl ayat 125, “Ud’u ila sabiili Rabbika bil hikmati wal mauizhatil hasanati wa jaadilhum billlaty hiya ahsan (Dan serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik). Dengan demikian, dakwah tidak bisa dilepaskan dari cara dan metode penyampaian yang penuh dengan hikmah dan mengajak kepada kebenaran.
Dakwah dengan kebajikan
Salah satu fenomena terkini yang meresahkan adalah adanya ustaz-ustaz/dai-dai dadakan yang dengan keterbatasan pengetahuan dan literatur keagamaan justru tidak mengajak dengan hikmah, melainkan dengan cara mencaci-maki, menebar kebencian, memprovokasi, serta merendahkan harkat dan martabat agama lainnya. Fenomena seperti ini sejatinya mencederai salah satu prinsip dakwah Islamiyah yakni dengan hikmahdan perkataan yang baik.
Karena dakwah Islamiyah itu bersifat mengajak, bukan mengejek, dan merangkul, bukan memukul. Khutbah Jumat, ceramah atau kegiatan siraman rohani lainnya mesti didasarkan atas sikap welas asih, kebajikan, dan kebijaksanaan sang dai/penceramah. Bukan kekesalan, kemarahan, apalagi kebencian pada pihak-pihak tertentu.
Baca juga Ketika Penjara Justru Membuat Mantan Teroris Menjadi Lebih Ekstrem
Nabi Muhammad Saw yang merupakan juru dakwah pertama telah memberikan teladan dalam mengajak umat manusia kepada Islam rahmatan lil ‘alamin. Dalam berbagai perjalanan kehidupannya (sirah), Nabi Muhammad Saw memberi contoh dengan akhlak yang mulia dan tutur kata yang lembut. Ketika berhadapan dengan masalah yang besar, seperti adanya ancaman fisik dari para pembencinya, beliau lebih menempuh jalur diplomasi dan perdamaian. Beliau juga selalu menjaga perdamaian antarkabilah, dan antarumat beragama serta melakukan upaya perbaikan kondisi sosial masyarakat ketika itu.
Ajaran agama Islam mengajak kepada kebaikan dan menolak kepada mafsadat. Seperti yang dikatakan oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyah (2013) yaitu mengharapkan kemaslahatan dan mencegah kemudaratan. Jamaludin ‘Atiyah (2001) dalam Nahwa Taf’il Maqashid Syariah menyatakan bahwadakwah harus berlandaskan kepada pondasi dan tujuan (maqashid) syariah yaitu untuk menjaga dan menebarkan perdamaian di dunia. Adapun langkah konkretnya di antaranya adalah dengan membangun kerja sama dan bersikap saling pengertian satu sama lain (tafahum).
Dakwah melalui ibroh
Di antara berbagai metode dakwah yang cukup populer adalah metode berkisah. Dengan bercerita, para jemaat, pendengar atau audiens diajak untuk menyelami dan memahami peristiwa atau fakta yang terjadi di masa lalu untuk dijadikan pembelajaran demi masa depan. Dalam Al-Qur’an disebutkan ayat yang menegaskan pentingnya mengambil ibroh (pembelajaran) dari kisah orang-orang terdahulu, “Sungguh di dalam cerita/kisah mereka terdapat ibroh (pembelajaran) bagi orang yang berakal (QS. Yusuf:111).
Contoh dakwah dengan cara berkisah tersebut dapat kita ambil dari metode dakwah yang dilakukan oleh para penyintas dan mantan pelaku terorisme. Mereka mengajak masyarakat untuk memahami bahaya dan kerusakan yang akan terjadi bila paham ekstrem masih tersebar. Dengan kebesaran dan kelapangan hatinya, mereka mengajak masyarakat untuk melakukan kebaikan dan mencegah diri dari mafsadat. Di antara mafsadat itu adalah ajakan dan pesan-pesan yang mengarah pada kebencian dan kekerasan terhadap sesama manusia.
Baca juga Beban Berlapis Korban Terorisme
Kisah penyintas terorisme merupakan cermin dan bukti nyata dampak dari aksi terorisme. Banyak korban yang mengalami penderitaan selama bertahun-tahun, namun dapat bangkit dengan keimanan dan kepribadian yang sangat tangguh dengan sifat-sifat yang mulia seperti memaafkan dan memuliakan sesama. Mereka tidak menyalahkan keadaan, namun memilih untuk berdamai dengan diri sendiri dan para pelaku.
Sementara para mantan pelaku memberikan ibroh bahwa paham dan ideologi ekstrem yang mengatasnamakan agama memang benar adanya, sangat menyesatkan, dan menyengsarakan kehidupan pelaku dan korbannya serta keluarga mereka.
Baca juga Memaknai Pengayoman Dalam Pemasyarakatan
Dakwah para penyintas dan mantan teroris dengan metode ibroh tersebut dapat menjadi pelajaran penting tentang prinsip dan tujuan dakwah islamiyah di Indonesia. Metode ini dapat dikatakan bertujuan pada kemaslahatan dan mencegah kemudaratan dan berlandaskan kepada fondasi dan tujuan (maqashid) syariah yaitu untuk menjaga dan menebarkan perdamaian di dunia.
Baca juga Menggelorakan Ketangguhan