Mengarifi Dendam

Oleh: M. Syafiq Syeirozi
Alumni Ponpes Bahrul Ulum Tambakberas Jombang

Makna dendam dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah “berkeinginan keras untuk membalas (kejahatan dan sebagainya).” Dendam selama tidak bersanding dengan “balas” tidak menjadi persoalan sosial karena masih dalam angan-angan. Dalam logika hukum, niat dan pemikiran tidak bisa dipidanakan. Toh banyak orang yang berniat balas dendam mengurungkan keinginannya.

Dendam adalah kombinasi dari amarah, sakit hati, kebencian, dan iri dengki. Semuanya campur aduk menjadi satu. Karenanya dendam adalah problem individual, sampah psikis yang jika terus menerus dipiara akan merusak jiwa. Pendendam cenderung melestarikan konflik, ketimbang menyelesaikannya dengan hati yang terbuka dan lapang.

Baca juga Memaafkan Menyembuhkan

Dalam banyak kasus, aksi balas dendam, khususnya dengan tindakan kekerasan tidak menyelesaikan masalah, melainkan menelurkan perkara baru, yakni spiral kekerasan. Andaikan saja Adolf Hitler, ketua partai Nazi di Jerman yang bertangan besi memiliki generasi keturunan jelas, bisa jadi generasi Yahudi akan membunuh mereka. Pasalnya saat rezim kepemimpinannya, Hitler membantai umat Yahudi lantaran kebencian yang menghantuinya selama hidup.

Untuk mencegah aksi balas dendam, agama telah mengatur bahwa setiap perbuatan jahat dapat diberikan balasan yang setimpal sesuai kadar kesalahannya, tak lebih. “Balasan dari tindakan kejahatan haruslah setara” (QS. Al Syura: 40). Hal ini merupakan penerjemahan dari konsep keadilan, di mana orang yang berbuat salah sekali pun haram dizalimi.

Untuk “mengelola” tindakan balas dendam, maka agama telah menetapkan sistem kisas (قِصَاصْ). Dalam QS. Al Baqarah: 178 Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu kisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan perempuan dengan perempuan. Barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Hal itu adalah suatu keringanan dan rahmat dari Tuhan kalian. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, baginya siksa yang sangat pedih.”

Baca juga Perempuan dan Perdamaian

Sistem kisas ditetapkan supaya orang tidak bermain hakim sendiri sehingga membalas secara serampangan. Abi Abdillah Muhammad al-Qurthubi dalam kitab Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an (populer dengan Tafsir Al-Qurthubi) menjelaskan bahwa yang berhak menentukan hukum kisas pembunuhan hanyalah pemerintah yang sah atau ulul amri (Tafsir Al-Qurthubi Vol. 3 halaman 66). Dalam struktur pemerintahan modern, ulul amri diwakili oleh majelis hakim pengadilan. Hal ini penting untuk menghindarkan adanya kezaliman baru. Kejahatan adalah kezaliman namun tetap saja harus dibalas dengan keadilan.

Sejumlah korban terorisme yang penulis jumpai mengaku pernah menyimpan amarah dan dendam kepada para pelaku yang pernah mencederainya, secara fisik maupun psikis. Mereka ingin pelaku terorisme merasakan penderitaan fisik dan batin yang sama dengan mereka. Tentu hal ini sangat bisa dimaklumi. Korban terorisme tak pernah ada masalah secuil pun dengan para pelaku serangan, namun tanpa dinyana harus kehilangan salah satu anggota tubuhnya, sebagian korban lain kehilangan saudara dan kerabat tercinta.

Seiring waktu, amarah dan dendam meluntur karena ternyata perasaan itu malah menambah penderitaan. Toh dendam juga tidak bisa mengembalikan apa yang hilang. Saat bertemu dengan pelaku yang pernah terlibat dalam aksi-aksi terorisme, para korban bisa bersikap legawa karena sebelumnya telah memaafkan. Bagi mereka vonis hukuman yang diberikan oleh majelis pengadilan telah “membalaskan dendam mereka.”

Baca juga Perempuan dan Kekerasan

Sikap di atas harus diapresiasi. Ada pepatah bijak mengatakan, “اَحْسِنْ إلىَ المُحْسِنِ فَإنَّ المُسِئَ تَكْفِى سَاعَتُهُ ” (Berbuat baiklah kepada orang yang berlaku bagus kepadamu, karena sesungguhnya orang yang bertindak buruk akan menuai masanya sendiri). Artinya kita lebih baik fokus membalas kebaikan, sementara perbuatan jahat pasti menuai hukumannya sendiri.

Dendam memang negatif namun jika kelola secara arif, ia akan menjadi jinak. Cara menjinakkan dendam yang paling efektif adalah memaafkan. “Dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Nur: 22). Memaafkan adalah tanda sosial keimanan. Jauh dari sempurna iman kita pada Allah Swt bila enggan memafkan sesamanya.

Baca juga Berdakwah dengan Hati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *