Pendidikan Kritis Mengentaskannya dari Ekstremisme

Aliansi Indonesia Damai- Ali Fauzi Manzi masih berusia 18 tahun ketika kakaknya, Ali Ghufron alias Mukhlas, menyodorkan pertanyaan mudah, “Apakah kamu tahu tentang Kartosuwiryo?” Dengan enteng, ia menjawab sosok tersebut sebagai pemberontak. Ali Ghufron langsung menghardik dan menyebut otak adiknya telah rusak. Bagi sang kakak, Kartosuwiryo adalah pejuang karena telah mendirikan Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII).

Setelah percakapan itu, Ali Fauzi diajak hijrah ke Johor Bahru, Malaysia. Ia menempuh pendidikan di Institut Lukmanul Hakim sembari mengajar bahasa Arab. Selain belajar, ia juga diperkenalkan lebih mendalam dengan DI/NII. Tahun 1991, Ali bahkan berbaiat kepada NII lewat Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir. Saat terjadi perpecahan di tubuh NII, ia berbaiat kepada Jamaah Islamiyah (JI), organisasi yang didirikan oleh Abdullah Sungkar.

Baca juga Dari Wilayah Konflik ke Ruang Pendidik

Selain narasi ekstremisme, ia juga kerap disuguhi video-video konflik kekerasan yang melibatkan umat Islam seperti di Afganistan, Palestina, dan Mindanao. Hal yang mengukuhkan tekadnya untuk membalas kekejaman yang menimpa umat muslim. Tak ayal ia tumbuh menjadi pribadi yang keras dan tertutup. “Semua yang berbeda pendapat, saya anggap sesat. Saya benar-benar tidak bisa menghargai perbedaan pada saat itu,” tutur Ali mengenang.

Pada 1994, ia meninggalkan Malaysia menuju ke Filipina untuk bergabung dengan Akademi Militer Moro Islamic Liberation Front (MILF). Saat konflik komunal meletus di Ambon Maluku dan Poso Sulawesi Tengah pada 1999, Ali ditunjuk menjadi Komandan Pelatihan Militer di kedua wilayah tersebut.

Baca juga Ali Fauzi Sembuh dan Menyembuhkan

Setelah konflik berakhir, ia kembali ke Filipina dan tertangkap oleh aparat keamanan setempat pada 2004. Pemerintah Indonesia mengekstradisinya pada tahun 2006 dan mengharuskannya menjalani pembinaan di Polda Metro Jaya.

Pada tahun 2009, atas rekomendasi dari Kementerian Agama Republik Indonesia, Ali menyelesaikan pendidikan sarjananya yang belum tuntas. Saat di Institut Lukmanul Hakim Malaysia, ia berkuliah hingga semester 6. Sehingga ia tinggal melanjutkan dua semester di salah satu perguruan tinggi di Jakarta.

Baca juga Titik-Titik Balik Seorang Ekstremis

Usai mendapatkan gelar sarjana, ia kembali mendapatkan rekomendasi dan beasiswa dari Kemenag untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana yang ditempuhnya di Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMS). Pada masa awal perkuliahan, Ali Fauzi masih merasa kaku dan sulit beradaptasi. Pandangan-pandangan sejumlah dosen lulusan barat membuat otaknya memberontak. Ia kerap mengkritik dosen-dosennya.

“Awalnya dada saya seperti sakit. Tetapi setahun kemudian saya merasakan ada yang berbeda dengan diri saya. Saya semakin bisa menghormati. Metode pembelajaran kuliah sungguh mengubah perspektif saya. Saya bisa menggali ilmu, mengubah dari yang destruktif menjadi konstruktif,” ujarnya.

Baca juga Keinsafan Mantan Napiter: Terlibat dan Tobat Karena Keluarga (Bag. 1)

Pendidikan menjadi salah satu faktor penting yang membuat pikirannya terbuka. Selain menumbuhkan daya pikir kritis juga melatih kepekaan perspektif. Baginya, tingkat berpikir seseorang sangat ditentukan oleh kualitas pendidikannya. “Kalau pendidikannya terbatas di situ-situ saja maka akan membuat seseorang berpikir sempit dan merasa dirinya yang paling benar, yang lain salah,” katanya.

Kini pendidikan merupakan dunia jihadnya yang baru. Ali menjadi dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Lamongan. Lebih dari itu, melalui Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP), organisasi bentukannya, ia mengusahakan agar beberapa mantan narapidana terorisme mengikuti jejaknya melanjutkan pendidikan tinggi. Ia percaya, pendidikan mampu membuka cakrawala berpikir manusia.

Baca juga Keinsafan Mantan Napiter: Terlibat dan Tobat Karena Keluarga (Bag. 2-Terakhir)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *