Puasa dan Makna Jihad

Oleh Wiwit Tri Rahayu
Alumni Ponpes Ar-Risalah Lirboyo Kediri

Ramadan menjadi bulan spesial bagi umat Islam karena adanya kewajiban puasa sebulan penuh. Sebelum adanya syariat itu, Nabi Muhammad Saw pernah menjalankan puasa Asyura yang jatuh pada 10 Muharam sebagai keharusan. Hal ini dilakukan lantaran Nabi Musa dan kaumnya melakukan hal serupa sebagai bentuk syukur kepada Allah Swt karena berhasil selamat dari kejaran Raja Fir’aun.

Untuk membedakan umat Islam dengan kaum Yahudi, Nabi meminta agar umatnya juga menjalankan puasa pada 9 dan 11 Muharam. Perintah itu dirilis pada awal tahun 2 Hijriah. Namun beberapa bulan setelahnya, tepatnya pada bulan Sya’ban, Nabi menerima wahyu tentang kewajiban puasa di bulan Ramadan melalui QS. Al Baqarah ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Baca juga Jurnalisme Damai di Tengah Pandemi

Ayat tersebut sekaligus menggugurkan kewajiban berpuasa di hari Asyura dan menjadikannya sebagai puasa sunah. Hal tersebut disampaikan oleh istri Nabi, Aisyah RA, kepada para sahabat: Orang-orang Quraisy pada masa jahiliyah melaksanakan puasa hari Asyura dan Rasulullah melaksanakannya. Ketika tinggal di Madinah, beliau tetap menjalankannya dan memerintahkan orang-orang untuk melaksanakannya pula. Setelah diwajibkan puasa Ramadan, beliau meninggalkannya. Maka siapa yang menghendaki, silakan berpuasa dan siapa yang tidak menghendaki silakan meninggalkannya (HR. Abi Dawud No. 2442).

Ramadan 2 Hijriah juga merupakan bulan penuh arti bagi umat Islam. Bukan hanya menjadi awal pelaksanaan puasa wajib, namun juga bertepatan dengan terjadinya Perang Badar, salah satu perang besar pada zaman Nabi. Dengan komposisi pasukan yang jauh dari kata seimbang (313:1000), wajar jika perang tersebut dianggap sebagai jihad yang berat. Namun sepulang dari perang tersebut Nabi Muhammad justru menyampaikan bahwa masih ada jihad yang lebih besar lagi.

Baca juga Pasifisme Sebagai Jalan Hidup

Kalian semua telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran yang lebih besar. Lalu dikatakan (kepada Nabi), pertempuran besar apakah wahai Rasulullah? beliau menjawab, ‘jihad (memerangi) hawa nafsu.’ (HR. Baihaqi)”

Banyak ahli menilai bahwa hadis di atas sanadnya lemah (dhaif), namun makna yang terkandung dapat diterima. Hadis tersebut memeringatkan kita bahwa sejatinya jihad bukan melulu soal perang. Terlebih ketika berpuasa, jihad terbesar manusia justru melawan hawa nafsunya sendiri. Menjadi penting bagi muslim untuk menahan diri dari melakukan hal yang membahayakan diri sendiri ataupun orang lain, baik secara lisan, tulisan, maupun perbuatan.

Baca juga Ramadan Dalam Perjuangan

Hal itu dikuatkan oleh hadis yang menyatakan bahwa jihad melawan hawa nafsu adalah jihad yang paling utama. “Mukmin yang paling utama keislamannya adalah umat Islam yang selamat dari keburukan lisan dan tangannya. Mukmin paling utama keimanannya adalah yang paling baik perilakunya. Muhajirin paling utama adalah orang yang meninggalkan larangan Allah. Jihad paling utama adalah jihad melawan nafsu sendiri karena Allah. Hadis tersebut diriwayatkan dalam Musnad Ahmad, Sunan al-Tirmidzi, Sunan Abi Dawud, dan Shahih Ibn Hibban.

Memahami jihad di bulan Ramadan menjadi penting jika melihat banyak pihak yang menyalahartikannya. Pada bulan ini, segala amalan baik akan mendapatkan pahala berlipat ganda. Tak ayal kaum ekstremis menganggapnya sebagai waktu yang tepat untuk “berjihad”. Sayangnya, jihad tersebut justru menciptakan mudarat.

Baca juga Memaknai Syukur: Belajar dari Korban Terorisme

Aksi teror bom di Pos Polisi Kartasura, Sukoharjo pada akhir Ramadan tahun 2019 lalu adalah contoh pemaknaan jihad yang tidak tepat. Pelaku meyakini tindakan tersebut sebagai jihad, padahal justru menyakiti dirinya sendiri dan merugikan orang lain.

Menurut penulis, hadis di atas sudah cukup memberi petunjuk tentang jihad seperti apa yang harus kita jalani di bulan Ramadan. Menahan hawa nafsu merupakan kran utama kebaikan. Mendamaikan diri sendiri dengan memerbanyak tindakan positif dan menjauhi segala godaan yang menyesatkan adalah jihad demi meraih keutamaan Ramadan.

Baca juga Merekatkan Kembali Indonesia

Dalam situasi pandemi Covid-19, jihad melawan hawa nafsu terasa seperti jihad melawan Covid-19. Keduanya adalah musuh yang tak terlihat, sehingga kita harus menghindarinya dan mencegah penyebarannya dengan menahan diri dari banyak hal yang berisiko. Bentuk jihad lain adalah membantu mereka yang terdampak pandemi ini secara material, seperti sembako, masker, sabun, hand sanitizer, dan semacamnya.

Baca juga Dampak Ekonomi Terorisme

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *