Ali Fauzi Sembuh dan Menyembuhkan
Aliansi Indonesia Damai- Tahun 2011, untuk pertama kalinya Ali Fauzi bertemu, bercengkerama, dan berdialog intim dengan seorang korban bom terorisme di Indonesia. “Tubuhnya hancur penuh bekas luka bakar,” demikian Ali Fauzi mengenang sosok itu. Hati Ali seperti ditusuk-tusuk dengan jarum saat sang korban mengatakan, “Saya begini karena bom yang dirakit oleh murid-murid Mas Ali.”
Spontan Ali memeluknya dan meminta maaf seraya menangis tersedu-sedu. Dalam hati ia tak henti melantunkan istighfar mengenang perbuatan-perbuatannya di masa lalu bersama kelompok ekstremis. Ali adalah adik dari trio pelaku Bom Bali 2002 (Ali Ghufron alias Mukhlas, Amrozi, dan Ali Imron). Ia memang tidak pernah terlibat dalam aksi-aksi pengeboman di Indonesia, namun sebagian pelaku adalah mantan muridnya. Pasalnya ia pernah menjadi kepala instruktur pelatihan militer kombatan konflik Ambon dan Poso dan anggota pasukan elit Moro Islamic Liberation Front (MILF) Filipina.
Baca juga Titik-Titik Balik Seorang Ekstremis
Sekitar tahun 2004, Ali tertangkap aparat keamanan Filipina dan menjalani hukuman penjara di sana. Pemerintah Indonesia berhasil mengekstradisinya. Ia dibawa pulang ke tanah air dalam kondisi sakit parah dan harus menjalani perawatan medis cukup lama. Usai perawatan, banyak pihak yang mendukungnya untuk meninggalkan kelompok ekstremis hingga beberapa tahun kemudian ia dipertemukan langsung dengan korban terorisme. Pertemuan yang menyadarkannya betapa aksi terorisme telah membuat orang-orang tak bersalah menderita, bahkan seumur hidup.
Beberapa tahun setelahnya, dengan difasilitasi oleh AIDA, Ali bertemu dengan korban pelbagai aksi pengeboman di Indonesia, seperti korban Bom Kuningan 2004, Bom Bali 2002 dan 2005, Bom Thamrin 2016, hingga Bom Kampung Melayu 2017. Ali selalu merasa iba setiap kali bertemu dan mendengar kisah kehidupan korban. Derita hidup korban dengan segala persoalannya yang kompleks membuat Ali makin semangat untuk menebus dosa-dosa masa lalunya.
Baca juga Keinsafan Mantan Napiter: Terlibat dan Tobat Karena Keluarga (Bag. 1)
Pilihan Ali meninggalkan kelompok ekstrem bukan tanpa risiko. Ia kerap mendapatkan ancaman dari teman-temannya ataupun anggota kelompok ekstremis. Namun ia tak gentar. “Saya bersumpah di hadapan Pak Solahudin (Pembina AIDA) dan Pak Hasibullah (Direktur AIDA) untuk tidak akan mundur ke belakang. Saya akan terus berjuang mengampanyekan perdamaian untuk Indonesia yang lebih damai dan lebih maju,” ujar Ali Fauzi saat menjadi pembicara dalam kegiatan Halaqah Perdamaian yang digelar AIDA di Bandung tahun lalu.
Salah satu bentuk perjuangan Ali adalah mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP), komunitas yang merangkul sejumlah mantan simpatisan kelompok ekstrem serta anak-anak, janda, dan istri-istri yang suaminya masih dalam penjara akibat kasus terorisme.
Baca juga Keinsafan Mantan Napiter: Terlibat dan Tobat Karena Keluarga (Bag. 2-Terakhir)
Menurut dia, akar ekstremisme kekerasan tidaklah tunggal, akan tetapi saling berkaitan. Maka untuk mengobati penyakit ekstrem tidak cukup dengan metode tunggal, melainkan butuh banyak aspek, strategi, dan metode yang baik untuk melawan dan memutus mata rantai tumbuh berkembangnya ideologi tersebut.
Ibarat sebuah penyakit, ekstremisme adalah penyakit yang sudah mengalami komplikasi. Butuh dokter spesialis dan juga pencegahan dari orang-orang yang pernah mengalami penyakit ini. Dalam hemat Ali, dirinya bukan dokter spesialis, tetapi pernah mengalami penyakit ekstremisme selama bertahun-tahun. Saat ini dirinya memang sudah sembuh. Namun tak berhenti di situ. Ali ingin menyembuhkan.
Baca juga Dulu Meracik Bom Kini Meretas Damai