27/06/2020

Korban Bom Kuningan Berdamai dengan Kenyataan

Untung tak diraih, malang tak dapat ditolak. Begitulah kehidupan manusia. Keberuntungan maupun kemalangan seringkali datang tiba-tiba tanpa dinyana. Firasat acapkali menghampiri, namun manusia sering gagal memahami maknanya sampai tiba masanya. Hal demikian dialami oleh Josuwa Ramos, korban bom Kedutaan besar Australia (Bom Kuningan) 2004.

Kala itu ia adalah pemuda yang sedang bersemangat bekerja menafkahi keluarga yang baru dibinanya selama beberapa bulan. Namun musibah 9 September 2004 sempat meredupkan semangatnya. Pagi itu Jo, sapaan akrab Josuwa, merasa tidak enak badan sehingga merasa malas berangkat kerja. Padahal biasanya selepas bangun tidur pada jam 5 pagi, ia lekas bersiap berangkat kerja.

Baca juga Ketegaran Korban Bom Kuningan

Karena harus menandatangani kontrak kerja sebagai petugas keamanan di Kedubes Australia, Jo memutuskan tetap berangkat bekerja. Dalam perjalanan, sepeda motornya sempat mogok. Jo bisa tiba di kantor atas bantuan temannya yang kebetulan melintas.

Sesampainya di tempat kerja, Jo langsung menempatkan diri di pintu gerbang utama yang bertugas memeriksa kendaraan yang hendak memasuki kompleks Kedubes Australia. Namun lantaran kondisi fisiknya yang kurang bugar, ia bertukar posisi tugas ke bagian dalam gerbang.

Baca juga Berjuang untuk Sesama Korban Bom

Sekira pukul 10.15 WIB, Jo mendengar suara seperti drum besar terjatuh. Dirinya terpental. Pandangannya terhalang asap putih pekat yang mengepul tak jauh posisinya berada. Saat asap menipis, Jo melihat rekan-rekannya tergeletak di tanah dengan luka di sekujur tubuh. Ada pula yang sudah tak bernafas lagi.

Jo bergegas mengevakuasi seorang temannya ke rumah sakit terdekat dengan berjalan kaki. Usai berhasil mengantarkan temannya, Jo hendak balik ke lokasi ledakan untuk membantu temannya yang lain. “Tiba-tiba saya terjatuh. Ternyata celana saya basah kuyup oleh darah yang mengucur dari kaki,” katanya mengenang.

Baca juga Korban Bom Kuningan Merasa Beruntung Meski Cidera

Jo lantas dirawat di ruang IGD rumah sakit. Saat itulah ia melihat sejumlah rekan kerjanya juga berada di situ dengan luka yang jauh lebih parah ketimbang dirinya. Usai mendapatkan sejumlah jahitan di beberapa bagian tubuhnya, Jo diperbolehkan pulang. Saat itu rumah sakit memprioritaskan perawatan bagi korban-korban yang mengalami cedera parah.

Tiga hari usai peristiwa, sendi kaki dan tangannya membengkak sehingga tidak bisa digerakkan. Jo merasakan sakit yang teramat sangat hingga tidak bisa berjalan. Hasil pemeriksaan medis menunjukkan: serpihan logam sebesar ibu jari masuk di tulang keringnya, proyektil menancap di tempurung lututnya, dan beberapa serpihan lainnya menancap di beberapa organ tubuhnya.

Baca juga Memahami Rencana Tuhan

Serpihan di tulang keringnya berhasil diangkat, tetapi proyektil kecil di tempurung lututnya dibiarkan karena sangat berisiko jika dilakukan pembedahan. Beruntung pada tahun 2007, ia mendapatkan referensi untuk melakukan operasi di Singapura. Proyektil kecil di lututnya berhasil diambil, namun jaringan sarafnya ada yang terputus sehingga harus dilakukan perawatan rutin.

Baca juga Meluaskan Jiwa Merangkul Luka

“Sampai sekarang saya harusnya masih melakukan penyuntikan botox untuk melunakkan otot di lutut saya. Tetapi karena terlalu lama, saya mengambil cara lain, yaitu mencoba bertahan apa adanya dengan obat-obatan untuk meringankan sakit saya,” ujar Josuwa.

Masih ada serpihan-serpihan kecil yang bersarang di beberapa bagian tubuhnya yang tidak bisa diangkat. Namun ia berusaha berdamai dengan kenyataan dan memilih menyesuaikan diri dengan kondisi tubuhnya.

Baca juga Tafakur Menyembuhkan Lukanya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *