10/06/2020

Ekstremisme dan Filosofi Sandal

Aliansi Indonesia Damai- Iswanto tampak cukup berhati-hati menyampaikan paparannya di hadapan siswa-siswi SMAN 1 Palimanan, Cirebon beberapa waktu silam. Ia berkali-kali mengingatkan mereka untuk tidak mengikuti masa lalunya karena hal tersebut adalah kekeliruan. Terlebih karena perbuatannya, ia pernah masuk ke dalam daftar pencarian orang (DPO) kepolisian pada tahun 2000.

“Dari Kekerasan Menuju Perdamaian: Belajar dari Pengalaman Pribadi,” itulah judul presentasinya. Kisahnya terlibat dalam kelompok ekstremisme hingga akhirnya memutuskan sepenuhnya keluar dari jaringan diungkapkannya dengan detail. Saat remaja, Iswanto tertarik dengan cerita heroik guru mengajinya yang pernah terlibat langsung dalam perang Afghanistan.

Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 1)

Pria asli Lamongan ini bahkan merasa hubungannya dengan sang guru, Ali Imron (kini terpidana seumur hidup kasus Bom Bali 2002), lebih dekat ketimbang dengan nenek yang mengasuhnya, apalagi dengan kedua orang tuanya yang kala itu tinggal di Surabaya. Dari gurunya pula ia memahami ideologi-ideologi jihad ekstrem dan menerimanya sebagai kebenaran tanpa ragu.

Sekitar usia 19 tahun, Is, demikian sapaan akrabnya, berbaiat kepada Jama’ah Islamiyah (JI) wilayah Jawa Timur. Saat konflik komunal di Poso dan Ambon meletus, ia bergabung dengan Komite Aksi Penanggulangan Akibat Krisis (KOMPAK) dan terlibat langsung dalam konflik kekerasan di kedua daerah beda pulau itu.

Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 2)

Keyakinannya terhadap doktrin jihad ekstrem membuatnya sangat bersemangat untuk berjihad perang. “Kalau yang dulu-dulu memang saya tidak pernah untuk berpikir kepada pendidikan. Yang ada dalam pikiran saya, bagaimana bisa perang, terlibat konflik, dan membuat kerusuhan, itu saja,” ujarnya mengenang.

Namun itu dulu. Sambil tersenyum dan sedikit tertawa, Is mengatakan bahwa dirinya yang sekarang sudah berbeda. Kini ia telah menjadi Iswanto yang lunak, yang tidak lagi memandang segala sesuatu secara hitam dan putih.

Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 3-Terakhir)

“Saya dulu paling kuat tentang ideologi, keyakinan saya ini. Orang tua, saudara saya pun sama sekali tidak mampu mengubah saya pada waktu itu tentang pemahaman jihad amar ma’ruf nahi munkar. Tapi ketika saya balik kepada dunia perdamaian maka saya pahami betul, saya juga pahami kembali bagaimana jihad kita,” jelasnya.

Perubahan tersebut ia tunjukkan melalui aktivitasnya sekarang. Bekerja sebagai guru dan pembimbing haji-umrah, ia mengajak banyak orang untuk melakukan kebaikan, alih-alih membimbing mereka untuk melakukan kekerasan seperti dulu.

Baca juga Pendidikan Kritis Mengentaskannya dari Ekstremisme

Selain itu ia juga mengelola toko di dekat rumahnya. Salah satu barang yang mendominasi tokonya adalah sandal. Menurut dia, sandal memiliki filosofi yang bagus untuk menandai perubahannya, yaitu tentang konsep hidup damai dan fleksibel seperti sandal.

“Kalau saya bandingkan dengan dulu, maka sandal ini di antaranya sarana (untuk menunjukkan: red) saya mempunyai sifat yang sangat tunduk. Beda dengan dulu yang sehari-hari hanya memegang besi, bom, dan semacamnya. Tetapi sekarang, di antaranya sandal ini yang menjadikan saya mempunyai pikiran tidak sekeras yang dulu,” katanya.

Baca juga Dari Wilayah Konflik ke Ruang Pendidik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *