Mantan Ekstremis Bicara Jihad
Aliansi Indonesia Damai- Setiap orang kiranya memiliki tafsir tersendiri mengenai makna jihad. Tidak sedikit yang kemudian memaknai tindakan tertentu sebagai bagian dari ‘jihad’.
Menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jihad adalah usaha dengan segala daya upaya untuk mencapai kebaikan. Bila mengacu pada definisi tersebut, maka jihad tidak melulu soal perang, sebagaimana acapkali dipahami oleh kalangan ekstremis kekerasan. Namun jihad adalah segala upaya kebaikan yang dapat mengubah seseorang atau keadaan tertentu menjadi lebih baik.
Ali Fauzi Manzi, mantan pelaku terorisme yang juga adik dari tiga bersaudara pelaku Bom Bali, mengemukakan perbedaan antara jihad dan aksi terorisme. Menurut Ali, landasan jihad sudah termaktub secara rinci dalam Al-Quran, mulai dari syarat, rukun, fadhilah dan seterusnya. Maka, menurut Ali, sudah seharusnya umat Islam dan masyarakat luas memaknai jihad dengan merujuk kembali pada prinsip Al-Quran itu sendiri, yaitu al maslahah atau memberikan kebaikan dan manfaat bagi khalayak.
Baca juga Merajut Ukhuwah Merawat Perdamaian
Sedangkan aksi terorisme justru bermakna sebaliknya, yaitu menimbulkan dampak buruk bagi masyarakat luas. Tak hanya itu, dampak destruktif yang ditimbulkan aksi terorisme pun menimpa siapa saja tanpa membedakan latar belakang seseorang. Ali menyampaikan bahwa larangan melakukan aksi terorisme juga sudah ada dalam kaidah fiqih, yakni dar’ul mafasid muqaddamun ‘ala jalbil mashalih (mencegah kemudaratan atau bahaya lebih diutamakan daripada mengupayakan manfaat yang belum pasti).
“Tentu landasan saya Al-Quran. Prinsip Al-Quran itu adalah al-maslahah, kebaikan, dan kalau kita lihat, terorisme itu tidak ada kebaikan sama sekali. Beda dengan jihad, kalau jihad dilakukan jelas-jelas ada lawan dan itu bagian daripada kesepakatan,” tutur Ali Fauzi dalam salah satu kegiatan bersama AIDA.
Baca juga Ekstremisme dan Filosofi Sandal
Pendiri Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) itu juga menjelaskan perbedaan perang di zaman Rasulullah dan ‘perang’ di zaman sekarang. Ia menjelaskan tentang konsep laa ikraha fiddiin, yaitu tidak adanya paksaan dalam beragama. Konsep ini pun telah diamini oleh Rasulullah pada masa lalu. Sayangnya, menurut Ali, perang yang dilakukan oleh kelompok ekstremis saat ini justru membawa konsep yang berkebalikan.
Selain itu, perang yang terjadi pada zaman Rasulullah umumnya bukanlah semata-mata perang yang diinisiasi oleh Rasul, melainkan upaya untuk bertahan dari serangan musuh yang telah lebih dulu menabuh gendang peperangan. Dalam fiqih jihad, perang yang dilakukan oleh Rasulullah lebih mengarah kepada jihad al-difa’i atau jihad defensif.
Ali Fauzi juga menggarisbawahi bahwa aksi terorisme yang dilabeli jihad oleh kelompok-kelompok ekstremis lebih bermuatan politis. Perang yang seperti ini tentu tidak bisa disamakan dengan perang suci di zaman Rasulullah yang murni bertujuan untuk Allah Swt.
Baca juga Pendidikan Kritis Mengentaskannya dari Ekstremisme
Berdasarkan pengalamannya terlibat dalam jaringan kelompok ekstrem, ia pun menyimpulkan bahwa kelompok ekstremis secara sempit mengartikan jihad sebagai al qitalu ‘alal kuffar li i’lai kalimatillah (berperang melawan orang kafir untuk menegakkan kalimat Allah). Padahal, jika diartikan lebih dalam lagi, makna jihad bisa mencakup aspek kehidupan yang lebih dasar dan luas.
Dalam pandangan Ali Fauzi, menuntut ilmu adalah jihad. Bersedekah adalah jihad. Segala usaha kebaikan yang mengubah keburukan menjadi kebaikan termasuk bagian dari jihad. Karena itu, jihad yang paling dekat sejatinya adalah melawan segala keburukan yang ada dalam diri kita sendiri, seperti melawan rasa malas, dengki, hasad dan segala nafsu duniawi yang mengitarinya.
Baca juga Ali Fauzi Sembuh dan Menyembuhkan