Hati-Hati Mencari Ilmu
Aliansi Indonesia Damai- Pendidikan adalah penentu masa depan seseorang. Kalimat ini agaknya cocok mendeskripsikan kisah hidup Iswanto, mantan pelaku ekstremisme kekerasan. Meski saat ini sudah bertobat, namun kisahnya di masa lalu penting dijadikan sebagai pembelajaran, terutama bagi para pelajar, untuk berhati-hati dalam menyerap ilmu.
Dalam salah satu kegiatan kampanye perdamaian yang dihelat AIDA, Iswanto menuturkan, sewaktu masih berstatus pelajar, ia ‘dipaksa’ menjadi pelajar yang tertutup. Lingkungan tempatnya belajar bisa dikatakan tidak sehat. Dia didoktrin untuk sepenuhnya meyakini kebenaran majelisnya itu.
Baca juga Jalan Hijrah Mantan Ekstremis
Di sisi lain, dia didoktrin untuk menolak bahkan membenci majelis lain. Alasan yang biasa dilontarkan gurunya adalah ‘kalau belajar di sana (majelis lain) bisa sesat’. Keterbatasan ini membuat Iswanto merasa paling benar. Semua yang bukan berasal dari majelisnya adalah kesalahan dan layak dimusuhi.
Di dalam majelisnya itu pun Iswanto lebih banyak disuapi dengan materi-materi yang berbau kekerasan. Misalnya, gurunya sering mendoktrinnya agar membenci non-muslim atas perlakuan mereka terhadap muslim di belahan dunia lain. Sering pula dicekoki materi tentang jihad dalam artian yang sempit, berperang sebagai satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah.
Baca juga Merajut Ukhuwah Merawat Perdamaian
Iswanto juga diajari pemahaman-pemahaman agama yang kaku. Dia juga tidak dibolehkan belajar agama dari referensi lain. Oleh karena itu, jangankan non-muslim, mereka yang muslim saja tak lepas dari sasaran kebenciannya. Yang paling tampak dari doktrinnya adalah tentang status negara, di mana Iswanto mengafirkan umat Islam yang mendukung keberadaan negara demokrasi dan perangkat-perangkatnya.
Paparan ideologi ekstrem yang berlangsung terus menerus itulah yang membuat Iswanto terlibat dalam aksi-aksi kekerasan. Nalar kritisnya sudah tumpul sehingga apa pun yang dia lakukan selalu diyakini benar, bahkan jika harus mengorbankan orang lain. Tak ayal ketika dipertemukan dengan salah seorang korban bom yang non-muslim, kesan awalnya biasa saja. Tak ada rasa empati yang muncul dari hatinya.
Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 1)
Baru ketika sang korban mulai bercerita tentang bagaimana awal mula kejadian hingga penderitaan berkepanjangan yang dialaminya, Iswanto mulai terketuk hatinya. Agaknya, pikirannya yang selama ini gelap tak lantas mematikan cahaya empati yang masih bersinar di dalam hatinya.
Perjumpaan dengan korban membuatnya melihat langsung dampak dari aksi kekerasan. Dia sadar, apabila hal serupa menimpa dirinya atau bahkan keluarganya, tentu akan sangat sakit rasanya. Padahal si korban tidak pernah menyakitinya. Tapi akibat perbuatan kelompoknya, korban harus menderita seumur hidupnya.
Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 2)
Dari situ pun dia menyadari betapa bahayanya jika seorang anak muda terpapar pemahaman yang salah akibat sistem pendidikan yang juga salah, seperti yang pernah dia alami di masa lalu. Oleh karena itu, dia berpesan kepada generasi muda agar berhati-hati dalam mencari ilmu. Generasi muda harus punya filter yang kuat. Sebab, ada segelintir materi ilmu yang justru menjerumuskan ke jalan yang salah.
Dia berpesan untuk menjauhi majelis yang punya ciri-ciri seperti; mengajak untuk membenci kelompok lain, membenci simbol-simbol negara, merasa kelompoknya saja yang paling benar, dan mengajak untuk berbuat kerusakan. Jika generasi muda menjumpai majelis demikian, segeralah putar arah. Iswanto tak ingin ada orang lain yang jatuh pada lubang yang sama seperti dirinya.
Baca juga Mereka yang Menemukan Jalan Kembali (Bag. 3-Terakhir)