24/05/2021

Paradoks Ekstremisme:
Belajar dari Perubahan Pandangan Napiter (Bag.1)

Asumsi dasar yang memengaruhi seseorang melakukan tindakan kekerasan adalah ide, yaitu suatu hal yang tertanam dalam pemikiran secara kognitif dan keyakinan di dalam hati. Ide dapat berkembang menjadi ideologi yang secara koheren berhubungan dengan fenomena-fenomena dan persoalan sosial politik yang berkembang.

Menurut pengakuan salah seorang narapidana terorisme yang pernah penulis jumpai, faktor dasar munculnya tindakan esktremisme berawal dari ide. Di kalangan kelompok ekstrem, ada keinginan untuk menjadikan sebuah negara menerapkan syariat Islam dengan cara menghancurkan negara itu terlebih dahulu.

Baca juga ‘Kepungan’ Menjaga Harmoni

Faktor ketidakadilan global, ekonomi, atau pendidikan hanyalah faktor antara. Sementara faktor ide negara Islam tersebut ditambah dengan justifikasi agama menjadi pembenaran atas tindakannya.

Meskipun demikian, tak ada gading yang tak retak, layaknya tak ada batu yang tak bisa hancur. Semua bisa berubah seiring perkembangan pemikiran, yang terkadang dipicu oleh paradoks antara harapan dan kenyataan dan antara justifikasi yang satu dengan yang lain.

Baca juga Massiara’: Tradisi Bugis Menjaga Damai

Kita tahu, sejumlah orang terpapar paham kekerasan sejak dini, bahkan sejak bangku pendidikan menengah. Proses ekstremisasi yang sangat panjang, membuat mereka memiliki keyakinan yang kuat terhadap ajaran yang mereka anut.

Beberapa di antaranya bahkan menjadi residivis terorisme, yaitu kembali mengulangi perbuatannya dalam kasus yang sama. Penjara tidak memberikan efek jera (deterence) bagi para pelaku. Namun ada beberapa momentum yang mendorong mereka melakukan kontemplasi hingga perlahan menyadari kesalahan berpikirnya selama ini. Ternyata banyak hal yang terjadi sangat tidak sesuai dengan keinginannya, bahkan sebaliknya menyalahi ajaran-ajaran dasar Islam sendiri.

Baca juga Berdamai dengan Ketidaksukaan

Beberapa dampak di antaranya, banyak korban sipil tak bersalah, bahkan di antaranya adalah umat muslim sendiri yang menderita akibat aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan. Citra Islam menjadi buruk di mata masyarakat. Malahan di beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat banyak bermunculan fenomena Islamophobia, yaitu sikap antipati berlebihan terhadap umat Islam, khususnya yang berkaitan dengan simbol-simbol keagamaan.

Setiap napiter menjumpai momentum pemicu kesadaran yang berbeda-beda. Sebagian ada yang dari bahan bacaan. Mereka membaca buku-buku yang isinya bertentangan dengan buku-buku kekerasan yang biasa dibaca. Mereka juga banyak berdiskusi dengan teman-temannya yang telah berubah terlebih dahulu dan sadar bahwa dahulu ia jauh dari ulama-ulama yang spalih, hanya mengikuti pendapat ulama dari kalangan mereka sendiri.

Baca juga Falsafah Bugis untuk Perdamaian Bangsa

Sebagai contoh perubahan pemahaman adalah ketika mereka berpendapat bahwa semua amaliyat/aksi teror perlu dikoreksi. Mereka menganalisis buku-buku yang dibaca sebelumnya, bahwasanya penulis buku menegaskan, tidak seharusnya melakukan pembalasan dendam di tempat yang berbeda, karena itu dilarang oleh agama.

Sebagai misal, ketika tentara Amerika Serikat membunuh anak-anak dan perempuan dalam perang Afghanistan dan Irak, maka tidak seharusnya umat Islam juga membunuh anak-anak dan perempuan di tempat yang lain, apalagi bukan dalam kondisi perang. Hal tersebut dilarang karena warga negara kerap tidak setuju dengan kebijakan politik pemerintahnya.

Baca juga Siri’: Filosofi Perdamaian Bugis-Makassar

Dari paradoks-paradoks itu perlahan napiter berubah. Bagi mereka, mengubah pandangan orang-orang yang masih keras harus juga mengubah pemahaman mereka tentang negara. Jika tidak, akan terus ada aksi-aksi teror, karena kelompok-kelompok teror selalu beradaptasi. Meskipun banyak penangkapan, ideologi telah terwariskan. (Bersambung)

Baca juga Kritik Diri Bekal Pertobatan Ekstremis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *