18/06/2021

Menjaga Akhlak di Medsos

Media sosial (medsos), ibarat pedang bermata dua. Jika dimanfaatkan untuk hal-hal positif maka akan melahirkan kemaslahatan individual maupun publik. Sebaliknya, jika digunakan secara negatif maka akan menimbulkan hal-hal yang kontraproduktif, yang tak saja memudaratkan diri sendiri namun juga orang lain.

Salah satu dampak negatif dari medsos adalah menjamurnya ujaran kebencian. Caci-maki, provokasi, hasutan, pengkafiran, bahkan ancaman fisik bertebaran di pelbagai jejaring media sosial dan laman-laman internet. Semua orang, tanpa pandang predikat, jabatan, atau lainnya bisa menjadi obyek kata-kata negatif.

Baca juga Paradoks Ekstremisme: Belajar dari Perubahan Pandangan Napiter (Bag.1)

Penulis agak heran dengan orang-orang yang begitu mudahnya mengkafirkan saudara seagamanya. Padahal masing-masing syahadatnya sama, Tuhannya sama, Nabinya sama. Para pencaci tampak yakin dirinya sebagai muslim penjaga kebenaran sehingga berhak memaki orang yang tidak sependapat dengannya.

Jagat maya adalah ruang publik di mana setiap orang berhak untuk berpendapat. Tetapi tentu dalam koridor etika dan norma hukum. Petuah Arab menyatakan, likulli haalin adabun wa likulli makanin adabun wa likulli waqtin adabun (untuk setiap perilaku ada tata kramanya, dalam setiap ruang ada sopan santunnya, dan untuk setiap waktu ada etikanya sendiri).

Baca juga Paradoks Ekstremisme: Belajar dari Perubahan Pandangan Napiter (Bag.2)

Dalam Qs. Al-Hujurat ayat 11 Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (menjelek-jelekkan) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita (yang dijelek-jelekan) lebih baik dari wanita (yang menjelek-jelekkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, serta janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) fasiq sesudah (panggilan) iman, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.”

Dalam Asbabun Nuzul, (1991: 263), Abi al-Hasan al-Nisabury, menerangkan bahwa ayat tersebut diturunkan untuk menegur beberapa orang yang menghina seorang sahabat Nabi bernama Tsabit bin Qois bin Syamas. Biasanya, karena telinganya tuli, saat sahabat-sahabat sowan kepada Nabi, Tsabit dipersilakan duduk di sisi Nabi, agar mampu mendengar petuah-petuah Nabi dengan lebih baik.

Baca juga Paradoks Ekstremisme: Belajar dari Perubahan Pandangan Napiter (Bag. Terakhir)

Pada suatu kesempatan, orang-orang yang bertamu di rumah Nabi telah menduduki tempat di mana Tsabit biasa menempatinya. Tsabit yang telat dating lantas duduk sambil menggerutu dan marah. Melihat Tsabit marah, seorang laki-laki yang menduduki tempatnya lalu mencelanya dengan menuturkan bagaimana tingkah laku ibunda Tsabit di masa Jahiliyyah lampau. Maka turunlah ayat tersebut.

Sementara ayat tentang larangan memberikan label yang jelek diturunkan sebagai teguran kepada laki-laki  yang memanggil temannya dengan nama “Yanbuzah”. Karena laki-laki yang dipanggil itu tidak suka dengan nama tersebut, ia lapor kepada Nabi dan mengadukan panggilan itu.

Baca juga ‘Kepungan’ Menjaga Harmoni

Ibnu al-Katsir, Al-Nawawi, dan Wahbah Al-Zuhaily sepakat bahwa ayat ini menandaskan haramnya mencela kepada sesama muslim. Sebab di samping hal itu dapat menyakiti hati orang yang dihina, belum tentu juga kalau yang menghina itu lebih baik perilakunya, penampilannya, dan sebagainya, daripada yang dihina. Pendek kata saling mencela antarmuslim dengan beragam bentuk dan caranya adalah tindakan yang jelas haram.

Termasuk dalam golongan pencelaan adalah memberikan nama panggilan, predikat, atau julukan buruk kepada seseorang dengan sebutan-sebutan yang kurang enak didengar, yang berakibat orang itu membenci panggilan yang dilekatkan kepada dirinya. Menurut Imam Nawawi, yang keharamannya tidak bisa ditawar-tawar lagi adalah penyebutan dengan panggilan, “Hai Kafir!”, “Hai Fasik!”, “Hai Munafik!”, dan semacamnya kepada orang Islam yang nyata-nyata telah menunjukkan keimanannya. Oleh Allah hal ini disebut sebagai predikat terburuk yang haram dilontarkan.

Baca juga Berdamai dengan Ketidaksukaan

Dalam masyarakat modern yang tidak lagi mengenal jarak pergaulan tanpa melihat segala atribut-atribut simbolis seperti agama, suku, ras, etnis, dan bahasa, tentunya siapa pun dilarang mencaci maki kepada siapa pun pula. Pendek kata Islam mengharamkan segala bentuk ujaran kebencian.

Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah, dikisahkan ada seorang sahabat meminta Rasulullah Saw untuk mengutuk orang musyrik. Namun beliau tegas menolak, dan menjawab, “Aku diutus bukan menjadi pengutuk, melainkan sebagai rahmat.”

Baca juga Falsafah Bugis untuk Perdamaian Bangsa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *