Stereotip dan Pentingnya Saling Mengenal (Bag. 1)
Aliansi Indonesia Damai- “Apakah kelompok terorisme itu identik dengan jenggot yang lebat dan celana cingkrang atau perempuan bercadar?”
Pertanyaan di atas kerap disampaikan oleh peserta kepada mantan anggota kelompok ekstremisme yang hadir pada kegiatan-kegiatan AIDA. Tampaknya pertanyaan tersebut dipicu oleh pemahaman yang beredar luas di masyarakat. Ada citra buruk yang dilekatkan kepada orang-orang yang menggunakan atribut tertentu, semisal celana cingkrang dan berjenggot atau perempuan bercadar.
Baca juga Meluruskan Pemahaman Jihad
Stereotip itu tak tak datang tiba-tiba. Ada sejumlah orang yang berurusan dengan hukum terkait tindak pidana terorisme memang berpenampilan demikian. Namun perlu ditegaskan, dalam konteks ini generalisasi adalah kesalahan fatal.
Sependek pemahaman penulis, penganut ekstremisme tidak bisa dilihat dari penampilan, namun lebih kepada ideologi atau pemahamannya yang ekstrem, misal menganggap kafir kelompok yang berbeda paham, menghalalkan pembunuhan, hingga melabeli negara Indonesia sebagai thaghut. Ada banyak orang yang bercelana cingkrang dan berjenggot lebat atau perempuan bercadar tapi mereka menolak keras paham-paham tersebut.
Baca juga Afirmasi Diri: Kisah yang Menjelma Makna dan Kata-kata
Fenomena generalisasi ini bisa kita bedah menggunakan kaca mata stereotip. Dalam sudut pandang psikologi sosial, stereotip adalah persepsi yang khas mengenai individu dari suatu kelompok tertentu (Suryanto, et. al., 2012). Stereotip berasal dari kepercayaan umum tentang kelompok tertentu sebagaimana yang kita pikirkan tentang anggota kelompok itu.
Rupanya, kegemaran stereotip tidak hanya terjadi pada khalayak luas kepada anggota kelompok ekstremisme, namun juga sebaliknya. Dari pertemuan penulis dengan beberapa mantan ekstremis yang telah bertobat, mereka dulu sering memvonis saudara sesama agama telah keluar dari agama (murtad) hanya dari perilaku tertentu, misal hormat bendera merah putih, membayar pajak, menyelisihi pemahaman agama mereka, dan lain sebagainya.
Baca juga Berdakwah di Era Digital
Jika kita perhatikan, benang merah dari stereotip adalah adanya prasangka negatif kepada kelompok lain. Beberapa ahli psikologi sosial menyimpulkan demikian. Uniknya prasangka melahirkan stereotip dan stereotip menguatkan prasangka. Prasangka menurut Allport (Liliweri, 2005) adalah sikap antipati yang bersumber dari cara pandang generalisasi yang salah dan tidak fleksibel.
Riset yang dilakukan Murdianto (2018) berjudul Stereotipe, Prasangka, dan Resistensinya (Studi Kasus pada Etnis Madura dan Tionghoa di Indonesia) menyebutkan bahwa stereotip akan melahirkan resistensi sehingga menghambat hubungan baik antarkelompok, bahkan tidak jarang menimbulkan konflik.
Maka sebenarnya menyamaratakan orang –yang sejatinya memiliki karakter dan paham yang variatif- hanya karena atribut tertentu, rawan membawa kita pada pertikaian hingga perpecahan dalam berbangsa dan negara. (bersambung)
Baca juga Mengenal Simbol-Simbol Perdamaian