16/02/2022

Stereotip dan Pentingnya Saling Mengenal (Bag. 2-Terakhir)

Aliansi Indonesia Damai- “Saya mendengarkan secara langsung bagaimana penderitaan korban yang ditimbulkan dari aksi terorisme. Saya sampai berkaca-kaca mendengar kisah mereka,” demikian pernyataan Kurnia Widodo, mantan narapidana terorisme yang telah bertobat, usai dipertemukan dengan korban terorisme oleh AIDA.

Perjumpaan itu membuat Kurnia semakin menyesali semua pemahamannya yang menyalahkan bahkan mengafirkan semua orang di luar kelompoknya. Ia mengaku pernah masuk dalam kelompok orang yang berlebih-lebihan dalam beragama atau ghuluw. Kekerasan dan ekstremisme adalah wujud nyata dari pandangan keagamaan yang ghuluw tersebut. Pertemuan dengan korban menjadikan Kurnia menghentikan stereotipnya bahwa orang di luar kelompok dan pemahamannya adalah kafir.

Baca juga Stereotip dan Pentingnya Saling Mengenal (Bag. 1)

Tidak jauh berbeda dengan korban terorisme, Hairil Islami, korban Bom Thamrin 2016, misalnya. Pertemuan dengan mantan ekstremis menghapus rasa marahnya. “Awal-awal saya memang merasa emosi dan dendam. Saya pikir itu manusiawi. Namun setelah bertemu dan berdialog, mereka punya itikad baik untuk meminta maaf. Maka sebagai sesama muslim, saya juga harus memaafkan,” ucapnya.

Pertemuan dan saling mengenal masa lalu merupakan hal yang sukses menghentikan stereotip, setidaknya hal tersebut terbukti sukses pada Kurnia dan Chairil.  Pertemuan yang disikapi dengan arif terbukti mampu meredakan emosi negatif, menekan potensi konflik dan prasangka keduanya. Hal tersebut sejalan dengan yang disampaikan Gordon Allport dalam karyanya berjudul The Nature of Prejudice. Ia mengemukakan teori yang dikenal dengan hipotesis kontak (contact hypothesis).

Baca juga Meluruskan Pemahaman Jihad

Hipotesis kontak adalah pertemuan yang membentuk sebuah interaksi antarkelompok. Pertemuan tersebut harus lebih dahulu dimulai dengan keinginan saling mengenal, bukan menghakimi satu sama lain. Islam sebenarnya sudah mengajarkan hal tersebut melalui ajaran “Ta’aruf” (saling mengenal).

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal (li ta’arofu). Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu (QS. Al Hujurat: 13).

Baca juga Afirmasi Diri: Kisah yang Menjelma Makna dan Kata-kata

Penerapan ta’aruf (saling mengenal) tentu melalui adab dan menghargai orang lain, bukan merasa lebih tinggi dan menganggap orang lain lebih rendah. Saling mengenal memunculkan sikap saling memahami, bukan menghakimi orang lain, sekaligus menghancurkan prasangka dan stereotip kepada orang lain. Mungkin dari sanalah muncul adagium populer ‘Tak kenal, maka tak sayang.” Tentu maksudnya supaya kita bisa menyayangi orang-orang di sekeliling kita, tanpa prasangka dan curiga.

Baca juga Berdakwah di Era Digital

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *