17/02/2022

Metanarasi Agama:
Kegagalan Kelompok Ekstrem (Bag.3)

Oleh: Fikri
Master Ilmu Politik Universitas Indonesia

Kegagalan kelompok ekstrem dalam mewujudkan metanarasi atau ide besar tentang komunitas dan sistem legal yang berlandaskan Islam sangat terlihat jelas, meski cita ideal itu tak pernah padam. Nyatanya setiap kelompok ekstrem terus bermunculan. Ibarat pepatah “Mati satu tumbuh seribu.”

Sejak era kemerdekaan Indonesia muncul kelompok bernama Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Usai imam besarnya, SM Kartosuwiryo, ditangkap dan dihukum mati oleh pemerintah, maka muncul generasi penerusnya yang mengibarkan panji Negara Islam Indonesia (NII). Kelompok ini kemudian melahirkan sejumlah faksi dan pecahan, salah satunya yang paling populer adalah Jamaah Islamiyah (JI) di era 90-an.

Baca juga Metanarasi Agama: Kegagalan Kelompok Ekstrem (Bagian 1)

Seiring waktu,  JI pun bisa dikatakan lumpuh, setelah para pentolannya harus berhadapan dengan penegakan hukum oleh aparat negara. Sejak munculnya ISIS di Suriah dan Irak pada tahun 2014, di Indonesia muncul kelompok yang mengklaim berafiliasi dengannya, yaitu Jamaah Ansharud Daulah (JAD), di samping kelompok-kelompok kecil lainnya. Dalam hemat penulis, kelompok-kelompok di atas cukup besar ditilik dari jumlah pengikutnya yang terbilang banyak.

Membaca ekstremisme dari metanarasi yang mereka bangun, hampir di setiap aspek mengalami kegagalan. Jika legitimasi, kredibilitas, dan relevansi adalah bahan bakar metanarasi, maka ketiga-tiganya lemah.

Baca juga Metanarasi Agama: Kegagalan Kelompok Ekstrem (Bag.2)

Pertama, legitimasi narasi-narasi ekstremisme masih bersifat multitafsir; a) Jihad dalam konsep Islam tidak hanya diaktualisasikan dengan perang sebagaimana yang selalu digemborkan kelompok ekstrem. Bekerja untuk menafkahi keluarga, melawan hawa nafsu, berdakwah untuk pembangunan manusia, dan masih banyak lagi amal kebaikan yang dikategorikan sebagai jihad asalkan dilandasi dengan niat yang benar.

Aktualisasi jihad mengikuti kondisi pribadi dan sosial yang berbeda-beda. Dalam situasi invasi militer yang mengancam kedaulatan dan marwah bangsa, tentu saja jihad diaktualisasikan dengan perang, sebagaimana terjadi zaman kolonialisme dulu. Dalam situasi yang damai, maka suami yang bekerja keras untuk menafkahi keluarga agar bisa beribadah kepada Allah Swt dan tokoh agama yang berdakwah dengan penuh kerahiman adalah mujahid;

Baca juga Istikamah dalam Perdamaian: Support System untuk Mendukung Pertobatan Mantan Pelaku

b) Hukum bai’at (sumpah setia) harus diputuskan oleh pemimpin umat yang terdiri dari ulama dan umara atau orang-orang yang dihormati lainnya. Tidak bisa diputuskan oleh satu orang saja. Sedangkan pemimpin kelompok ekstrem tidak mewakili mayoritas umat Islam. Oleh karenanya ia tidak memiliki kewenangan untuk mengambil bai’at dari siapa pun;

c) Umat. Istilah umat dalam definisi kelompok ekstrem mengandung overclaim. Terlalu berlebihan mengklaim bahwa kelompok mereka adalah umat yang terpilih dan paling benar;

Baca juga Ekstremisme Berlawanan dengan Fitrah Manusia: Refleksi Mantan Pelaku

d) Takfir. Ini adalah masalah yang sangat serius. Diperlukan kaidah-kaidah dan pengetahuan syar’i untuk memahami masalah ini, karena dampaknya berkaitan dengan tumpahnya darah kaum muslim. Sedangkan kebanyakan ekstremis memiliki pengetahuan sedikit, sehingga yang terjadi adalah pengafiran besar-besaran terhadap orang yang berbeda pendapat dengan mereka; 

e) Kesyahidan. Status ini tidak sesederhana dalam definisi kelompok ekstrem. Apalagi serangan bom bunuh diri. Sepanjang sejarah perjalanan nabi dan sahabat, syahid benar-benar ditujukan bagi orang yang terbunuh di jalan Allah, oleh musuh dan situasi yang jelas:

Baca juga Pendidikan untuk Perdamaian

f) Al wala’ wal bara’ (kesetiaan dan berlepas diri). Konsep ini masih bias di kalangan ekstremis. Salah satu ekspresi al bara’ di kalangan ekstremis misalnya dengan memosisikan aparat negara sebagai musuh. Ini tentu sangat lemah. Pasalnya sebagian besar aparat, khususnya di Indonesia, merupakan muslim yang masih menjalankan rukun Iman dan Islam;

g) Hijrah. Konsep ini sejatinya berkaitan dengan semangat untuk terus maju dan berubah menuju kehidupan yang lebih baik. Jika hijrah secara fisik harus dilakukan, maka hanya bisa dipertimbangkan dalam situasi yang mengerikan, misalnya ketika khawatir adanya ancaman kebebasan beragama atau keamanan hak-hak pribadi dan martabatnya. Selain itu, pertimbangan mengenai keluarga, orang tua, dan anak-anak juga sangat penting. Lebih utama berupaya mengubah tanah kelahirannya menjadi lebih baik, ketimbang lari dari persoalan.

Baca juga Refleksi Akhir Tahun Korban, Pelaku Terorisme, dan Nurani Kita

Legitimasi narasi-narasi ekstremisme tampak literalis dan simplistis. Padahal banyak alternatif tafsir atas teks Al-Quran dan Hadist yang ditawarkan oleh ulama-ulama yang mu’tabar (otoritatif). Masing-masing tafsir mempunyai rujukan yang kuat. Sehingga sangat keliru jika mengklaim hanya pendapatnya yang benar, sedangkan yang lain salah. Ini adalah contoh gamblang kegagalan metanarasi ekstremisme. (bersambung)

Baca juga Distorsi Kaidah Ulil Amri: Upaya Memahami dan Menyikapi Kepemimpinan secara Utuh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *