24/05/2022

Pesan Pamungkas Korban Bom Kuningan (Bag. 2-Terakhir)

Rudi Gunadi pernah melangitkan doa untuk Mutia, “Ya Allah jadikanlah anak saya manusia yang besar.“ Usia Mutia di dunia memang tak panjang, segala cita-citanya pun pupus, tapi Rudi merasa doanya dikabulkan.

Ketika jenazah Mutia tiba di kampung neneknya kawasan Setiabudi Kuningan, Selasa dini hari 26 Oktober 2004, ratusan warga memenuhi gang dan pelataran rumah ibu mertua Gunadi. Padahal kala itu dini hari buta. “Kami nggak tinggal di situ, tapi sambutan masyarakat luar biasa. Ada Menteri Agum Gumelar dan Gubernur DKI Jakarta, Pak Sutiyoso, juga datang,” katanya.

Baca juga Pesan Pamungkas Korban Bom Kuningan (Bag. 1)

Saat prosesi pemakaman di TPU Tanah Kusir, ratusan siswa dari SMAN 6 dan SMAN 70 Jakarta berkumpul memberikan penghormatan terakhir bagi Mutia. Padahal menurut Rudi yang kala itu menjadi Wakil Kepala SMAN 6 Jakarta, siswa dari kedua SMA tersebut kerap terlibat tawuran.

Rudi mengaku sangat terpukul kehilangan buah hatinya. Istrinya malah kuat ketimbang Rudi dan sering menghiburnya. Sementara Rudi sempat sebulan kesulitan fokus dalam mengajar. Setiap melihat siswi kelas III, ia teringat Mutia. Spontan air matanya menetes sehingga harus keluar dari kelas. Anak-anak didiknya di SMAN 6 Jakarta membesarkan hatinya, “Sudah, Pak, kami ‘kan juga anak-anak bapak.”

Baca juga Berdamai dengan Trauma: Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. 1)

Beberapa pekan setelah kepergian Mutia, Rudi kerap menangis, terutama ketika menunaikan shalat dan menziarahi makam Mutia. Terkadang muncul perasaan bersalah dalam dirinya sebagai orang tua. “Mungkin saya pernah kasar, pernah membentak. Ketika Allah ambil, di situlah saya merasa, anak itu segalanya,” ucapnya.

Dalam kenangan Rudi, Mutia adalah anak yang mandiri. Lantaran Rudi dan istrinya berprofesi sebagai guru, sejak kecil Mutia banyak diasuh oleh pembantu. Kendati demikian, Rudi mengaku sangat dekat dengan Mutia. “Saya yang mengantarkannya ke sekolah. Les juga saya tungguin,” ucapnya.

Baca juga Berdamai dengan Trauma: Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. II)

Dalam situasi psikis yang terpuruk, Rudi menemukan dua buku berjudul Don’t be Sad dan Tazkiyatun Nafs. “Dari situlah saya memahami bahwa semua yang ada bukan milik kita. Ada sunnatullah, ada awal pasti ada akhir,” katanya.

Dalam hemat Rudi, aksi-aksi terorisme dilakukan orang-orang yang tidak bertanggung jawab hingga mengakibatkan orang lain menderita. “Saya tidak tahu alasan pelaku apa. Mudah-mudahan masyarakat kita penuh damai. Tidak saling mencurigai,” tuturnya memungkasi.

Baca juga Berdamai dengan Trauma: Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. Terakhir)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *