23/05/2022

Pesan Pamungkas Korban Bom Kuningan (Bag. 1)

“Aku nggak bisa tidur. Mimpiku seram-seram. Kalau aku meninggal, tolong baju sekolahku kasih ke orang miskin. Ini (bulan) puasa. Tolong bayarin fidiah aku 10 hari. Aku juga punya anak asuh sama teman-teman, tolong dibantu.”

Rudi Gunadi masih mengingat jelas kata-kata yang disampaikan putri sulungnya, Mutia Rahmani Amalia, kala menjalani perawatan intensif di salah satu rumah sakit di Jakarta, medio Oktober 2004. Kala itu bertepatan dengan bulan Ramadan 1425 Hijriah.

Baca juga Berdamai dengan Trauma: Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. 1)

Sembari menahan kesedihan, Rudi menuturkan musibah yang menimpa Mutia dalam Pelatihan Penguatan Perspektif Korban Terorisme Bagi Petugas Pemasyarakatan yang digelar AIDA bekerja sama dengan Ditjen Pas Kemenkumham, akhir Maret 2022 lalu.

Mutia adalah siswa kelas III/IPS SMAN 70 Jakarta. Usai menjalani ujian tengah semester (UTS) pada 9 September 2004, ia hendak menyambangi kediaman neneknya di kawasan Setiabudi Jakarta Selatan. Dari sekolahnya di kawasan Blok M, ia menumpang bus kota jurusan Menteng. Saat hendak turun di halte STIE Perbanas kawasan Kuningan, ledakan keras terjadi. Berdasarkan kesaksian korban lain sesama penumpang bus, Rudi mengungkapkan, badan Mutia tersungkur ke tanah tapi kakinya tersangkut di pintu bus.

Baca juga Berdamai dengan Trauma: Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. II)

Mutia lantas dilarikan ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan pertama. Rudi Gunadi yang berprofesi sebagai guru SMA sedang mengajar saat ibu mertuanya meneleponnya, “Mutia kena bom.” Rudi bergegas menuju rumah sakit yang merawat Mutia. Di sana ia tahu, anaknya menjadi salah salah satu korban bom yang meledak di depan kantor Kedubes Australia.

Putrinya sempat menjalani operasi pengambilan serpihan kaca yang menghujam banyak bagian tubuhnya. Setelah kondisinya membaik, Mutia mendesak agar pulang ke rumah untuk menjalani rawat jalan. Namun selang beberapa hari berikutnya, ia jatuh sakit.

Baca juga Berdamai dengan Trauma: Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. Terakhir)

Rudi kembali membawa Mutia ke rumah sakit. Dari hasil pemeriksaan, diketahui ada pembekuan darah di otaknya. Dokter memutuskan membedah kepala Mutia untuk menyedot gumpalan darah itu. “Dia teriak-teriak saat kepalanya dikerok. Ya disentuh saja sakit apalagi dikerok,” ujar Rudi mengenang.

Usai operasi, selama beberapa hari Mutia terus-menerus mengalami demam tinggi. Saat demamnya menghilang dan kondisi tubuhnya merasa sehat, Mutia kembali mendesak pulang ke rumah. Rudi mengabulkannya meski tanpa persetujuan dokter. Tetapi lagi-lagi saat di rumah kondisinya memburuk. “Kepalanya geleng-geleng terus sambil menangis,” ucap Rudi.

Baca juga Sepenggal Kisah Penyintas Bom Thamrin, Deni Mahieu: Mensyukuri Kesempatan Hidup Kedua

Mutia kembali dibawa ke rumah sakit. Ia disuntik obat pengencer darah agar jantungnya kembali normal karena ada penggumpalan darah. Pihak rumah sakit di Jakarta merekomendasikan agar Mutia menjalani rawat lanjutan di rumah sakit Singapura atau Australia. Rudi memilih Singapura karena lebih dekat jaraknya.

Atas bantuan Kedubes Australia, Mutia lantas dibawa dengan pesawat khusus menuju Singapura. Rudi bersama istrinya menyusul sehari berikutnya dengan pesawat komersial. Mutia langsung menjalani perawatan intensif di salah satu rumah sakit Negeri Singa, sementara Rudi dan istrinya menginap di hotel tak jauh dari rumah sakit. Ia dan istrinya bergantian memantau kondisi Mutia yang terus merosot di rumah sakit.

Baca juga Afirmasi Diri: Kisah yang Menjelma Makna dan Kata-kata

Beberapa hari di Singapura, Rudi seolah mendapatkan isyarat. Ketika hendak takbiratul ihram shalat isya, ia seolah melihat jenazah Mutia. “Saya lihat diri saya masukin anak ke liang lahat. Wah, ada yang nggak beres nih,” kata Rudi.

Sepanjang malam matanya tak terpejam. Keesokan harinya ia mendatangi rumah sakit dan meminta izin menemui Mutia di ruang ICU. Sembari mengusap-usap kepala Mutia, Rudi membisikkan, “Sudahlah, Nak. Kamu kembali kepada Pencipta. Lupakan teman, lupakan sekolah, lupakan pikiranmu mau kuliah. Saya lihat air matanya keluar,” ujar Rudi dengan suara terisak.

Itu terakhir kali Rudi melihat Mutia dalam kondisi hidup. Mutia yang lahir di Jakarta pada 12 April 1988 menghembuskan nafas untuk terakhir kali pada 24 Oktober 2004. Bom Kuningan telah merenggut segala cita-cita mulianya. (bersambung)

Baca juga Berdakwah di Era Digital

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *